Food Estate Gagal, Kesejahteraan Tertinggal
Oleh: Imroatus Sholichah
LenSa Media News–Food estate atau proyek lumbung pangan skala besar merupakan proyek pemerintahan presiden Jokowi yang diamanatkan kepada pak Prabowo selaku Mentri Pertahanan. Harapan adanya proyek ini akan mengatasi krisis pangan rakyat di masa pandemi covid-19, namun nyatanya mengalami kegagalan berulang kali.
Pada tahun 2020, food estate yang berlokasi di Kalimantan Tengah dibangun di bekas proyek lahan gambut dengan komoditas padi seluas 30.000 hektar. Namun akhirnya gagal dikarenakan pola tanam yang dipaksakan.
Pada tahun 2021, kembali melakukan proyek food estate di Kalimantan Tengah daerah Gunung Mas, yakni menanam gandum dan singkong dengan luas 31.000 hektar. Proyek ini kemudian berujung gagal lagi karena tidak memiliki kajian lingkungan secara maksimal dan berkonflik dengan masyarakat setempat.
Kemudian, pada akhir pemerintahannya, Presiden Jokowi aksi pembukaan hutan besar besaran di Papua Selatan untuk melanjutkan program food estate ini yang rencananya akan diambil alih Presiden Prabowo. Tak tanggung-tanggung lahan sejumlah tiga juta hektar di Merauke, Papua Selatan dengan membawa 2000 ekskavator.
Proyek besar ini akan melakukan penanaman lahan tebu dan bioetanol sejumlah dua juta hektar, kemudian satu juta hektar untuk cetak sawah. Hal ini menimbulkan kemarahan besar bagi masyarakat sekitar, karena daerah tersebut merupakan tanah adat mereka yang biasa dilakukannya ritual mereka.
Proyek ini sangat memberikan dampak buruk bagi sistem pertanian lokal, ucap Martin Hadiwinata, selaku Koordinator FIAN Indonesia. Food estate sangat memberikan dampak buruk bagi para petani. Para petani akan kehilangan tugas dan fungsinya malah sangat menguntungkan bagi pihak korporasi. (Mongbay.co.id, 16-10-2024).
Penerapan dari liberalisme inilah yang menjadi akar permasalahan utamanya, karena hanya pemilik modal tertinggilah yang berkuasa. Negara membiarkan swasta menguasai lahan pertanian, namun petani kecil semakin sengsara tidak adanya lahan untuk ditanami, hingga rakyat pun mati kelaparan.
Sungguh ironis, seharusnya negara melindungi rakyarnya terlebih dahulu, nyatanya sebaliknya. Hal ini dikarenakan adanya UU cipta kerja yang sangat membuka peluang besar bagi pengusaha swasta. Sungguh kontradiksi, disisi lain pemerintahan melalukan proyek food estate namun proyek ini di jalankan oleh para cukong.
Food estate ini jelas sangat gagal menghasilkan ketahanan pangan bagi rakyat. Malah menimbulkan masalah yang lain, seperti kebakaran hutan, banjir besar, rakyat miskin kelaparan hingga menimbulkan kematian. Oleh karena itu perbuatan zalim ini harus di berhentikan dan diganti dengan sistem Islam.
Adapun cara Islam mengatasi lahan pertanian, yakni dengan merevilitasi lahan tidur. Lahan tidur adalah lahan yang tidak di kelola penghuninya selama tiga tahun, dengan hal ini negara mengambil alih fungsi dengan menanami tumbuhan sesuai dengan kondisi tanahnya.
Kebijakan menghidupkan lahan tidur atau tanah mati ini (ihyaul mawad) dilakukan berdasarkan hadis, “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.” (HR Tirmidzi, Abu Dawud).
Islam membangun untuk kepentingan rakyatnya, dengan memperhatikan aspek yang lainnya, seperti kelestarian lingkungan, kestabilan kehidupan sosial, penyediaan bahan pangan pun juga di perhatikan. Negara sangat merupaya mewujudkan ketahanan pangannya namun tidak dengan meminta tolong pihak oligarki.
Negara Islam sangat mandiri dalam membiayai pembangunannya, tidak disetir pihak manapun termasuk tidak bergantung dengan pihak asing atau pengusaha swasta. Hal demikian sangat terlarang karena akan menghilangkan kedaulatan negara itu sendiri. Hanya dengan Islam rakyat sejahtera yaitu dalam naungan Khilafah. Wallahualam bissawab. [LM/ry].