Salah Urus Kekayaan Alam, Rakyat Menjadi Korban
Oleh: Sulistyowati
LenSaMediaNews.com__Warga Negara Asing (WNA) asal China berinisial YH menggasak emas sebanyak 774,27 kg melalui aktivitas penambangan ilegal di Ketapang. Tak hanya emas, ia juga berhasil mengeruk 937,7 kg cadangan perak di lokasi tersebut. Akibatnya, Indonesia rugi Rp1,02 triliun imbas aktivitas tersebut.
Aktivitas penambangan emas ilegal juga terjadi di Nagari Sungai Abu Kecamatan Hiliran Gumanti Kabupaten Solok, Sumatera Barat. Nahas, aksi penambangan ilegal ini memakan korban sebab terjadi longsor di tanah galian. Sebanyak 13 orang meninggal dunia, 11 sudah dibawa, 4 masih di lokasi. Dan 25 lagi masih tertimbun serta 3 orang lagi mengalami luka (cnnindonesia.com, 27-09-2024).
Peristiwa ini menunjukkan kegagalan negara dalam mengurus pengelolaan tambang. Negara gagal dalam memetakan kekayaan alam sehingga mengakibatkan terjadinya berbagai hal buruk, seperti longsor di lokasi penambangan yang memakan korban jiwa, hingga hilangnya emas karena ditambang oknum tertentu.
Negara seharusnya memiliki bigdata kekayaan/potensi alam di wilayah tanah air dan juga memiliki kedaulatan dalam mengelolanya. Sehingga tambang dalam skala besar atau kecil dapat dimanfaatkan dengan baik. Negara juga harusnya memiliki kewaspadaan tinggi atas pihak asing dan pihak lainnya yang berniat merugikan Indonesia.
Sayang, negeri ini diatur oleh sistem kapitalisme yang membuat penguasa cuci tangan atas persoalan pengurusan SDA, yang mengatasnamakan penambangan ilegal. Kapitalisme yang berorientasi materi membuat negara setengah hati mengurus rakyat. Kasus tambang ilegal dibiarkan berulang, sekalipun ada undang-undang yang mengaturnya.
Sangat berbeda dengan negara Islam, yakni negara Khilafah dalam mengelola tambang. Islam mengatur negara dengan jelas dan gamblang sebagai raa’in (pengurus) dan junnah (perisai). Kesadaran negara akan dua peran ini menuntun negara mengatur potensi kekayaan alam sesuai dengan ketentuan Allah, selaras dengan keberadaan kekayaan alamnya.
Sebagaimana hadis Rasulullah SAW: “Ada tiga hal yang tidak boleh dilarang (orang lain dihalangi untuk memanfaatkannya): rerumputan, air, dan api.” (HR. Ibnu Majah)
Melalui dalil ini pengaturan tambang dalam Islam adalah barang tambang yang jumlahnya melimpah, haram dimiliki oleh individu karena harta tersebut milik umum. Milik individu jika harta tambang yang jumlahnya sedikit, dan milik negara jika sumber daya alam yang dikonservasi.
Dengan syariah ini negara mengatur pengelolaan tambang dan memetakan wilayah tambang. Banyak sedikitnya barang tambang ditentukan oleh para ahli yang terkait, sementara konservasi diperuntukkan kebutuhan negara untuk menjaga fungsi ekologi lingkungan.
Jika jumlahnya melimpah maka negara sebagai wakil umat akan mengelola tambang secara mandiri tanpa campur tangan individu (swasta) karena monopoli tambang hukumnya haram. Dengan pengelolaan ini negara sanggup menutup celah perampokan tambang pihak asing. Hasilnya akan dikembalikan kepada rakyat, distribusinya bisa diberikan secara langsung dalam bentuk subsidi energi dan sejenisnya atau secara tidak langsung dalam bentuk jaminan gratis kebutuhan publik yang dibiayai oleh pos kepemilikan umum Baitul Maal.
Jika jumlahnya sedikit dan wilayah tersebut tidak membahayakan untuk dieksplorasi dan diekploitasi negara mengizinkan individu atau swasta mengelola tambang tersebut dengan syarat prosedur, alat yang digunakan dan para pekerjanya harus disesuaikan dengan kualifikasi yang ditentukan.
Demikianlah pengelolaan tambang dalam Islam yang memastikan jaminan keselamatan rakyat, dan bisa mencegah bencana longsor di tanah tambang agar dapat dimanfaatkan secara optimal dan mampu memberi kesejahteraan. [LM/Ss]