Wujudkan Cinta Nabi saw, Raih Rahmatan lil A’lamin dengan Ketaatan Hakiki
Oleh Lulu Nugroho
LenSa MediaNews__ Puluhan ibu muslimah tampak menghadiri pengajian yang diselenggarakan oleh MT Mustami’ (Majelis Taklim Muslimah Pecinta Majelis Ilmu) di Kota Bandung, Jawa Barat, pada Ahad, 22 September 2024. Tema pada pagi hari ini adalah Wujudkan Cinta Nabi saw. Raih Rahmatan lil A’lamin, dengan Ketaatan Hakiki.
Ustazah Unung sebagai Pembina MT Mustami’ mengawali pemaparan materi dengan kisah kelahiran Nabi saw. yang berasal dari nasab yang mulia, Muhammad bin Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdul Manaf bin Qusay bin Kilab bin Murah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr. Hingga orang Arab yang pada waktu membanggakan nasab, tidak memiliki celah untuk menyerang Nabi saw.
Kaum muslim wajib mencintai Rasulullah saw. sebagaimana Allah SWT sampaikan di dalam QS Al-Ahzab: 6,
ٱلنَّبِىُّ أَوْلَىٰ بِٱلْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنفُسِهِمْ ۖ وَأَزْوَٰجُهُۥٓ أُمَّهَٰتُهُمْ ۗ وَأُو۟لُوا۟ ٱلْأَرْحَامِ بَعْضُهُمْ أَوْلَىٰ بِبَعْضٍ فِى كِتَٰبِ ٱللَّهِ مِنَ ٱلْمُؤْمِنِينَ وَٱلْمُهَٰجِرِينَ إِلَّآ أَن تَفْعَلُوٓا۟ إِلَىٰٓ أَوْلِيَآئِكُم مَّعْرُوفًا ۚ كَانَ ذَٰلِكَ فِى ٱلْكِتَٰبِ مَسْطُورًا
Artinya: Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri dan isteri-isterinya adalah ibu-ibu mereka. Dan orang-orang yang mempunyai hubungan darah satu sama lain lebih berhak (waris-mewarisi) di dalam Kitab Allah daripada orang-orang mukmim dan orang-orang Muhajirin, kecuali kalau kamu berbuat baik kepada saudara-saudaramu (seagama). Adalah yang demikian itu telah tertulis di dalam Kitab Allah.
Bukti bahwa kita mencintai Nabi saw.
1. Membenarkan apa yang disampaikan Beliau saw. (QS An-Najm: 3-4)
2. Menaati Nabi saw. (QS Ali Imran: 31)
3. Menjadikan Nabi saw. sebagai pemutus perkara (Hakim). (QS An-Nisa’: 65)
Sahabat pun dahulu mencintai Nabi. Salah satunya adalah Umar bin Al-Khaththab ra. yang pernah berkata, “Ya Rasulullah, aku mencintai engkau lebih dari segalanya kecuali diriku sendiri.”
Nabi menjawab, “Tidaklah sempurna iman seseorang sebelum ia mencintai aku melebihi cintanya kepada dirinya sendiri.”
Mendengar hal itu Umar radhiyallahu anhu berkata, “Kalau begitu sekarang, aku mencintai engkau melebihi kecintaanku terhadap diriku sendiri.”
Nabi menjawab, “Sekarang benar wahai Umar.” (HR Bukhari)
Ada pula kisah Tsauban, ustazah melanjutkan. Ia adalah salah satu budak Nabi. Tsauban seorang penduduk Yaman yang menjadi tawanan, kemudian Nabi membelinya dan membebaskannya. Hanya saja Tsauban tidak mau kembali ke Yaman, ia memilih untuk tinggal dan melayani Nabi saw.
Tsauban pun selalu merasa sedih saat jauh dari Nabi, “Kalau teringat akhirat, aku takut tak dapat melihatmu lagi. Sebab, kau akan diangkat ke surga tertinggi bersama para nabi. Lalu, mana tempatku dibandingkan tempatmu? Mana peringkatku dibandingkan peringkatmu?”
Setelah itu turun wahyu yaitu QS Al-An’am ayat 69. Dalam ayat itu disebutkan bahwa siapapun yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan bersama-sama dengan orang yang dianugerahi Allah, yaitu para nabi, para shiddiqin, para syuhada’ dan para orang salih.
Ayat tersebut seolah menjawab kesedihan Tsauban yang takut tidak bisa bertemu dengan Nabi saw, orang yang sangat dicintainya, di akhirat kelak.
Lalu bagaimana kondisi kaum muslim saat ini? Masihkan kita mecintai Nabi saw? Apakah kecintaan kita terhadap Nabi, sebesar cinta Umar radhiyallahu anhu atau Tsauban kepada Nabi? Jangan-jangan kita malah mencintai orang kafir yang jelas-jelas mengingkari petunjuk Allah SWT yang terdapat pada Al-Qur’an dan mengabaikan keteladanan Rasulullah saw.
Seperti yang terjadi saat kedatangan Paus beberapa waktu lalu. Sambutan berlebihan yang tidak layak, justru diberikan kepadanya. Padahal itu adalah bentuk cinta yang salah; dengan orang kafir bergandengan tangan, sebaliknya dengan kaum muslim malah memusuhi.
Bahkan kaum muslim yang taat kepada agamanya, mendapat label teroris atau radikalis. Dicap negatif agar muncul ketakutan terhadap Islam dan ajarannya. Akibatnya sebagian kaum muslim keliru mengambil sikap, mereka menjadi malu dengan identitas keislamannya, benci dengan simbol-simbol Islam, atau segala peraturan yang datang dari Islam.
Padahal sejatinya kaum muslim harus selalu taat kepada Allah SWT dan menjalankan semua syariat-Nya. Hingga berbagai propaganda islamofobia pun dapat ia tepis dengan penuh keyakinan, sebab dapat mengalihkan perhatian kaum muslim dari agamanya.
Hal tersebut terjadi pada kehidupan yang bersandar pada demokrasi. Sebab demokrasi dapat mengaburkan kecintaan hakiki (yang sebenarnya) dan menjadikan ketaatan kita kepada hal lain yang datangnya bukan dari Islam.
Demokrasi juga menjamin 4 bentuk kebebasan yaitu bebas bertingkah laku, berpendapat, beragama dan kepemilikan.
Akibatnya, nilai benar dan salah yang datang dari Allah SWT menjadi kabur dan tidak jelas. Malah terjadi percampuaradukan agama, sinkretisme atau moderasi, yang semuanya ini berbahaya bagi keimanan kita.
Ustazah menambahkan bahwa demokrasi adalah sistem kehidupan yang berpendapat dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Namun pada faktanya suara rakyat tidak didengar, misalnya ketika meminta harga sembako turun. Begitu pula saat rakyat meminta pemerintah untuk mengoreksi kebijakan yang dikeluarkan, yang menghimpit kehidupan kaum muslim.
Maka slogan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, sungguh tidak terealisasi. Hal ini membuktikan bahwa demokrasi tidak dapat dijadikan sebagai pijakan hidup kaum muslim. Karenanya, kaum muslim harus kembali berhukum kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah, bukan hukum buatan manusia, sebagaimana yang terjadi pada demokrasi.
Di dalam demokrasi terjadi mufakat sejumlah manusia, bukan suara rakyat. Maka kemufakatan itulah yang akan berlaku. Wajar jika suara rakyat akhirnya tidak didengar. Alhasil demokrasi tidak akan pernah melahirkan keadilan. Berbeda dengan Islam, bahwa yang menetapkan hukum adalah Allah, sehingga dipastikan akan terwujud keadilan.
Sebagaimana disebutkan dalam QS Al-An’Aam: 57,
قُلْ إِنِّى عَلَىٰ بَيِّنَةٍ مِّن رَّبِّى وَكَذَّبْتُم بِهِۦ ۚ مَا عِندِى مَا تَسْتَعْجِلُونَ بِهِۦٓ ۚ إِنِ ٱلْحُكْمُ إِلَّا لِلَّهِ ۖ يَقُصُّ ٱلْحَقَّ ۖ وَهُوَ خَيْرُ ٱلْفَٰصِلِينَ
Katakanlah: “Sesungguhnya aku berada di atas hujjah yang nyata (Al Quran) dari Tuhanku, sedang kamu mendustakannya. Tidak ada padaku apa (azab) yang kamu minta supaya disegerakan kedatangannya. Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik”.
Ustazah menutup kajian dengan menyampaikan kata-kata pamungkas bahwa, kecintaan kita kepada Nabi saw, menuntut ketaatan terhadap syariat Islam secara keseluruhan (kaffah). Inilah yang harus selalu kita lakukan dalam mengarungi kancah kehidupan, yaitu beraktivitas sesuai petunjuk Allah SWT dan Rasul-Nya. Maka dari sini akan terwujud kehidupan yang penuh rahmat (Islam rahmatan lil a’lamin), sebagaimana yang Allah SWT janjikan. Wallahu a’lam bishshawab.