SK Wakil Rakyat Tergadai, demi Balik Cuan?


Oleh Anastasia S.Pd.

 

 

LenSa MediaNews__ Mahalnya sistem demokrasi, harus dibayar dengan biaya yang tidak sedikit. Kita memahami dalam sistem demokrasi, apabila seseorang ingin menjadi anggota wakil rakyat atau pun penguasa, tentulah ada yang harus dikorbankan. Tren menggadaikan Surat Keputusan Pengangkatan Wakil Rakyat untuk mendapatkan kredit memang bukan hal baru. Hal ini tentu menjadi sangat wajar dilakukan wakil rakyat, karena ketika kampanye mereka harus rela mengeluarkan kocek banyak demi meraup angka dan simpati rakyat.

 

Fenomena wakil rakyat di beberapa daerah belakangan ini makin menunjukkan, potret buruk akibat biaya politik yang tinggi di Indonesia. Banyak wakil rakyat ramai-ramai, menggadaikan SK pengangkatan sebagai anggota DPRD ke bank untuk mendapatkan pinjaman. Hal ini dilakukan semata-mata untuk menutupi modal yang telah dikeluarkan. Seperti yang terjadi di beberapa wilayah, salah satunya adalah 20 anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Bangkalan, Jawa Timur (Jatim), menggadaikan Surat Keputusan (SK) ke bank usai dilantik sebagai wakil rakyat pada Senin (26-8-2024). SK jabatan yang digadaikan puluhan anggota dewan di Bangkalan itu dilakukan sebagai agunan ke bank untuk pinjaman kredit.

 

Beberapa daerah dengan para anggota DPRD mereka langsung gerak cepat menggadaikan SK antara lain Serang, Banten; Subang, Jawa Barat; Sragen, Jawa Tengah; Pasuruan, Malang, dan Bangkalan, Jawa Timur (Gemapos.id, 11-09-2024)

 

Sibuk Balik Modal, Kerja Terbengkalai

Memang beginilah keadaan politik yang dibangun berdasarkan paradigma materi. Orang berlomba-lomba, untuk menjadi penguasa dengan dalih dapat meminjam uang ke bank. Tentunya hal ini mampu mencetak mental penguasa yang haus kekuasaan karena adanya cuan. Padahal, seharusnya mereka menyadari keberadaan meraka adalah sebagai wakil rakyat, yang dipilih untuk menyelesaikan permasalah rakyat. Akan tetapi, wajah demokrasi tidak akan pernah menjadikan penguasa peduli kepada rakyat. Yang ada mengamankan kepentingan penguasa dan oligarki.

 

Ongkos kampanye, seperti pengadaan alat peraga sosialisasi calon anggota dewan, rapat konsolidasi tim relawan, dan adanya influencer yang turun ke masyarakat, tentu tidak dibayar gratis. Adanya kontrak mahar ke partai politik, bukan menjadi rahasia umum lagi. Semua adalah politik uang, berkuasa untuk meraih apa pun tujuan politik.

 

Apalagi pemilu legislatif tingkat kabupaten atau kota, uangnya tentu lebih besar, bisa mencapai ratusan juta hingga miliaran rupiah. Begitu pun untuk kursi di legislatif level provinsi atau nasional (DPR RI), nilai fantastis berkali lipat lebih besar. Pesta demokrasi yang sesungguhnya adalah perputaran uang di antara kesepakatan politik penguasa. Rakyat hanya bisa menonton, tanpa mendapatkan apa-apa, demokrasi bukanlah jalan menuju sejahtera. Sehingga ketika mereka duduk dalam kursi kekuasaan, mereka tidak akan pernah peduli dengan rakyat, tapi sibuk balik modal alias cuan.

 

Islam Jalan Politik Perubahan

Politik dalam sistem demokrasi sudah memiliki kecacatan, karena sistem ini menjadikan manusia sebagai sumber hukum. Sehingga jelas, siapa pun yang ada di lingkaran demokrasi sesungguhnya dia bekerja atas nama kepentingan dan tujuan tertentu. Konsep kedaulatan di tangan manusia, akan melahirkan kecenderungan kuat para pengusaha, dan hanya akan mengakomodasi aspirasi dan keinginan mereka. Lahirnya sistem oligarki, korupsi, dan nepotisme yang tidak mungkin dihindari. Tentu ini sangat bertentangan dengan Islam, politik Islam bertujuan untuk mengatur urusan umat. Politik Islam bertumpu pada empat kaidah, yaitu kedaulatan di tangan syariat. Di mana hukum Allah sebagai sumber pedoman dalam mengambil keputusan dan hukum untuk manusia.

فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُوْنَ حَتّٰى يُحَكِّمُوْكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوْا فِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka atas putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS An-Nisa: 65).

Kedua, umat memilik hak untuk membaiat seorang khilafah, dan hak untuk memilih penguasa yang akan mewakilinya dalam menerapkan Islam.

Ketiga, menetapkan satu khilafah, adanya kewajiban untuk mewujudkan khalifah.

وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ في عُنُقِهِ بَيْعَةٌ ، مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّة

Barang siapa yang mati, sedangkan di pundaknya tidak ada baiat, maka dia mati dalam keadaan jahiliah.”

Keempat, hak pengadopsian hukum syariat oleh Khilafah. Yaitu khilafah mempunyai peran sebagai pemersatu umat dalam menentukan kebijakan, apabila dirasa untuk menjauhkan perselisihan di kalangan umat.

Dengan demikian politik Islam, sangat bertentangan dengan kepentingan manusia atau pun golongan. Sehingga Islam adalah arah perubahan politik sesungguhnya, yaitu mengurusi kepentingan umat. Wallahu’alam.

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis