Gen Z Jepang Pilih Hikikomori, Bikin Ngeri
Oleh. Ferrina Mustika Dewi
(Penggiat Dakwah Remaja)
LenSa MediaNews__ Ada yang pernah dengan kata Hikikomori ? Satu kata ini terdengar asing di telinga kita, ya, karena istilah tersebut berasal dari Jepang. Di beberapa negara, khususnya Jepang, istilah ini berkembang menjadi penyakit sosial baru. Dari segi bahasa, Hikikomori berarti mengurung diri.
Fenomena sosial dimana para remaja sampai dewasa menarik diri dari kehidupan sosial mereka dengan mengurung diri di rumah. Kira-kira, berapa lama mereka mengurung diri, ya? Diperkirakan dari berbulan-bulan hingga bertahun-tahun lamanya. Bahkan ada, lo yang sampai 20 tahun tidak bertemu adik atau orang tuanya sendiri.
Selain itu, seseorang yang melakukan Hikikomori masih bisa tetap bekerja melalui dunia maya. Teknologi yang semakin canggih jadi faktor pendukung orang melakukan Hikikomori. Teknologi masa kini menjadikan orang bisa berinteraksi, bermain virtual game, bekerja sampai berbelanja online tanpa harus keluar rumah (chanelmuslim.com, 05-01-2019).
Fyi, Survei Nasional Jepang pada tahun 2022 telah menemukan sebanyak 40,3 % dari 20.000 responden merasa kesepian. Setidaknya satu kali dalam setahun, angka tersebut pun terus meningkat 3,9% dari tahun 2021. Ketika regulasi Social Distancing akibat pandemic COVID-19 diberlakukan di Jepang. Hasil survei juga mencatat warga Jepang yang berusia 20 sampai 30 tahun mengalami tingkat kesepian. Bentuk tren kesepian ini dinamakan Hikikomori (health.detik.com, 12-09-2024)
Ternyata fenomena nyata dari isolasi pasca pandemik semakin bermunculan, Guys. Hal tersebut disampaikan Hideaki Matsugi, Direktur Kebijakan Kesepian dan Isolasi Jepang. Menurut beliau, ‘titik kritis’ kesepian terjadi saat generasi muda lulus sekolah dan memulai hidup sendiri atau mandiri. Banyak diantaranya menjadi sulit mempertahankan pertemanan dan mendapat orang yang dipercaya dari orang terdekatnya.
Seperti salah satu gen Z di Jepang, Misumi yang merasa kesulitan berbagi rasa frustasinya atas persaingan yang tidak sehat di industri hiburan. Teman-temannya pun hanya memberikan perhatian sekadarnya. Mereka tidak bisa bersimpati dan tidak suka memikirkannya. Ada juga, salah satu generasi millenial di Jepang, Seigo Miyazaki yang merasakan teman-temannya tidak bisa memahami perjuangannya. Ketika ia mencoba menjelaskan masalahnya. Ibunya mengidap penyakit Multiple System Atrophy yang tidak bisa disembuhkan. Saudara perempuannya yang kuliah di luar kota, dan ayahnya yang sibuk bekerja. Setelah ia lulus SMA, Seigo telah merawat ibunya dan menjadi pengasuh utama sang ibu (health.detik.com, 12-09-2024)
Bayangkan mereka merasa kesepian, enggak ada yang bisa mengerti, kemudian menarik diri dari lingkungannya. Padahal manusia itu makhluk sosial yang butuh berinteraksi dengan sesamanya. Belum lagi, kita sebagai manusia jadi menjauh dari Allah. Rasanya, hidup terasa hampa. Kebayang ‘kan, bagaimana rapuhnya jiwa manusia di tengah sistem sekuler sekarang.
Kondisi ini enggak akan terjadi dalam sistem Islam. Seorang muslim yang hakiki akan memiliki ar-ruh, yaitu idrak sillah billah atau kesadaran akan hubungannya dengan Allah Ta’ala dalam kehidupannya. Setiap aturan Islam yang ditegakkan akan terlaksana berdasarkan kesadaran posisi manusia sebagai hamba-Nya.
Ketika manusia melakukan hal apapun, ia akan selalu relate dengan Sang Khalik. Bahkan manusia akan menggantungkan hidup seutuhnya pada Allah Ta’ala semata. Sikap ini yang menjadikan manusia, terutama seorang muslim memiliki jiwa yang kuat. Berbagai masalah yang ada akan diyakininya sebagai Qada Allah Ta’ala dan tentunya juga akan memberikan solusi.
Jadi enggak ada, tuh manusia yang bergantung sama manusia lainnya. Dia pasti akan berharap dan bergantung sepenuhnya kepada Allah. Manusia pun enggak akan merasa kesepian dalam hidupnya, karena ada Allah Ta’ala yang selalu ada di kesehariannya. Manusia juga bisa fokus untuk berusaha semampunya. Di luar itu, kuasa Allah yang berperan di kehidupan manusia (muslimahnews.net, 20/12/2022)
Dalam kehidupan manusia yang dibangun atas dasar akidah Islam, makna kebahagiaan, ukuran keberhasilan, kemuliaan, dan sebagainya akan diukur berdasarkan ridha Allah Ta’ala. Setiap Muslim akan berlomba-lomba meraih ridha Allah Ta’ala dengan ketaatan pada syari’at-Nya.
Allah pun berfirman:
“Dialah Zat Yang Maha menciptakan, lalu menyempurnakan ciptaan-Nya dan Yang Maha Menentukan kadar (masing-masing) lalu memberinya petunjuk.” (QS Al-A’la: 2–4).[] Wallahu’alam.