Oleh Lulu Nugroho

 

 

LenSa MediaNews__ Sobat muslimah tahu kan, baru-baru ini kita kedatangan tamu seorang tokoh Nasrani, yaitu Paus Fransiskus. Kehadirannya disambut meriah oleh umat Nasrani, tak terkecuali masyarakat muslim dan para pembesar negeri ini. Hanya saja, ada rambu-rambunya, sob. Kita tetap harus selalu merujuk pada syariat, menyandarkan setiap perkara pada standar kebenaran yang ditetapkan Allah SWT.

 

Sebab tak semua yang ditampilkan di media, sesuai dengan Islam. Allah SWT tentu memiliki panduan sendiri tentang bagaimana seorang muslim menerima tamu nonmuslim. Melalui gegap gempita penyambutannya, terdapat pesan moderasi yang dibungkus toleransi beragama. Jika kita tidak jeli memandang fakta tersebut, maka kita akan terbawa arus ide yang datangnya dari luar Islam.

 

Di situlah pentingnya kita mengkaji Islam, sob, supaya mengerti hal apa saja yang boleh dan tidak, di dalam syariat Islam. Bahkan kemudian muncul pertanyaan dari netizen: selevel apa sih Paus jika dianalogikan di dalam pemahaman Islam? Apakah sekelas ustaz atau mungkin khalifah?

 

Pemisahan Agama dari Kehidupan

Awalnya dari pemahaman ini sob, fashludin a’nil hayah atau pemisahan agama dari kehidupan, membuat masyarakat tidak lagi mengacu pada agama, saat beraktivitas di dalam kehidupannya. Pemahaman ini digunakan Barat sebagai akidah dan sekaligus menjadi asas peradabannya.

 

Barat memandang bahwa manusia terdiri dari aspek rohani dan jasmani, dan kehidupan terdiri dari aspek rohani dan unsur materi. Usaha untuk memperkuat salah satunya, akan melemahkan lainnya. Maka ketika seseorang menghendaki kehidupan akhirat, harus memperkuat aspek spiritualnya, begitu menurut mereka.

 

Maka nggak heran sob, akhirnya muncul dualisme dalam kekuasaan, ada kekuasaan spiritual yang dipegang pastor atau gerejawan, termasuk Paus, ada pula kekuasan politik yang dipegang penguasa. Di sini gerejawan tidak boleh ikut campur dalam perkara politik. Begitu pula sebaliknya.

 

Nah sobat muslimah, Islam tidak seperti itu. Tidak ada pemisahan agama dari kehidupan. Pun tidak perlu menekan salah satu aspek, untuk meninggikan aspek lainnya. Dalam diri manusia ada naluri-naluri dan kebutuhan jasmani yang membutuhkan pemenuhan. Dan Islam mengatur hal itu, sejalan, selaras, hingga menghasilkan aktivitas yang mulia.

 

Apa itu aktivitas mulia? Yaitu suatu kegiatan yang dilakukan manusia, yang digabungkan dengan aspek ruhiyah (keberadaan manusia sebagai makhluk Allah SWT). Penggabungan perbuatan dengan aspek ruhiyah (maj’hul madda birruh) inilah yang akan melahirkan manusia berkualitas baik, yang selalu berhati-hati melakoni kehidupannya. Tidak bebas, atau semaunya sendiri. Tetapi selalu bersandar pada halal dan haram yang menjadi tolok ukur Ilahi.

 

Maka di dalam Islam, setiap individu akan beraktivitas mulia. Seorang pemimpin negara hingga rakyat jelata, wajib menguasai hukum syara’. Setiap disiplin ilmu yang dikuasai oleh individu harus terikat dengan Islam. Tidak akan ada profesi keagamaan yang dibedakan dengan para politikus. Semua politikus paham agama, dan semua ulama (orang-orang berilmu) pun menguasai politik Islam.

 

Hingga menjadi sebuah keniscayaan, dalam penerapan Islam kaffah, akan melahirkan peradaban yang tinggi sebab dikendalikan oleh individu hebat yang senantiasa tunduk dan taat kepada Allah SWT. Mereka membangun peradaban atas dasar iman, mereka berlomba dalam kebaikan dan takwa. Maka layak jika sebutan umat terbaik (khairu ummah) disandingkan kepada umat Islam.

 

Dalam Islam juga tidak terdapat bentuk negara teokrasi. Islam memandang negara sebagai institusi penerapan agama atau syariat Allah SWT. Sumber-sumber hukum Islam dijadikan sebagai aturan perundang-undangan yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Selain menerapkan syariat Allah secara kaffah, negara juga melakukan aktivitas dakwah, menyebarluaskannya ke seluruh penjuru dunia.

 

Karenanya pada masa gemilang Kekhilafahan Islam, dikenal sebutan polymath, yaitu seorang ilmuwan yang menekuni berbagai ilmu sekaligus. Misalnya Abbas ibn Firnas (810-887) atau yang kita kenal dengan nama Ibnu Firnas dari Andalusia, ia adalah seorang ahli kimia, fisika, kedokteran, astronomi, dan sastrawan. Sejarawan Phillip K. Hitti menulis dalam History of the Arabs, “Ibn Firnas was the first man in history to make a scientific attempt at flying.”

 

Bahkan di masa Kekhilafahan, seorang muazin pun menguasai astronomi. Ia mempelajari alam semesta, melihat ke langit, saat akan mengumandangkan azan. Hingga didapatkan waktu yang akurat, sebagai penanda masuknya waktu salat, berbuka, puasa, membayar zakat dan aktivitas ibadah lainnya. Pun untuk menentukan awal Ramadan, Syawal dan Dzulhijjah.

 

Ada pula Ya’qūb ibn Isḥāq al-Kindī (Alkindus), yang dijuluki guru filosof kedua pasca-Aristoteles yang hidup dari 801 – 873 M. Al-Kindi adalah keturunan Bani Kindah yang berasal dari Yaman tetapi lahir di Kufah, Iraq. Selain filosof, dia menguasai berbagai bahasa, dokter, dan ahli farmasi. Ia juga bereksperimen dengan cryptografi, bagian ilmu matematika untuk membuat sandi dan mengungkap informasi yang tersandi.

 

Al-Kindi pernah menjadi tokoh penting di Baitul Hikmah di Baghdad. Beberapa khalifah Abbasiyah menunjuknya untuk menjadi guru privat anak-anak khalifah serta memimpin tim penerjemahan banyak naskah filsafat Yunani kuno ke dalam Bahasa Arab.

 

Dan masih banyak lagi ilmuwan lainnya, yang menguasai Islam dan menjadi negarawan. Sebagaimana para khalifah terdahulu yang merupakan pemimpin negara sekaligus menjadi mujtahid yang mampu menggali hukum syara‘.

 

Karenanya jika dikembalikan pada pertanyaan di awal tadi, siapakah yang selevel dengan Paus? Rasa-rasanya tidak ada ya sob. Sebab Paus hanya memimpin peribadatan saja, sedangkan dalam Islam setiap profesi digerakkan oleh akidah. Maka setiap muslim harus memiliki keimanan yang menancap kuat, menguasai ilmu dunia dan sekaligus memahami syariat. Dengan itu, ia akan sanggup mengguncang dunia dan mengembalikan kejayaan Islam. Tsumma takuunu khilafatan ala minhajin nubuwwah.

Please follow and like us:

Tentang Penulis