Biaya Politik Mahal, Gadai SK Natural

Oleh: Ummu Haidar

 

LenSaMediaNews.com__Sejumlah anggota DPRD kabupaten/kota di Jawa Timur berbondong-bondong mengajukan pinjaman utang ke bank dengan menggadaikan surat keputusan (SK) pengangkatan anggota dewan. Seperti halnya yang terjadi pada sejumlah anggota DPRD kabupaten Pasuruan yang baru saja dilantik dikabarkan mengajukan pinjaman utang ke bank dengan menggadaikan surat keputusan (SK) pengangkatan anggota dewan.

 

Tak hanya itu, sebanyak 20 anggota DPRD kabupaten Bangkalan juga menggadaikan SK jabatan mereka ke bank usai dilantik sebagai wakil rakyat (cnnindonesia.com, 10-09-2024).

 

Tradisi Miris Wakil Rakyat

 

Sudah menjadi rahasia umum bila biaya yang dibutuhkan agar lolos ke parlemen tingkat mana pun membutuhkan dana yang besar. Hambatan itu membesar bagi wajah-wajah baru yang berniat mencalonkan diri menjadi anggota dewan. Mereka memiliki tantangan yang lebih sulit dalam meraih suara minimal dalam pemilu. Beberapa caleg harus rela melego aset pribadi bahkan berutang ke bank sebagai modal memenangkan kontestasi pencalegan.

 

Tidak mengherankan jika usai pelantikan, tradisi lima tahunan para wakil rakyat untuk menggadaikan surat keputusan (SK) pengangkatan ke bank pun berulang. Tujuannya jelas melunasi utang biaya kampanye yang mahal. Sebagai jurus jitu tercepat menutup pengeluaran.

 

Gaya hidup juga turut andil dalam menentukan besaran pinjaman anggota dewan yang menggadaikan SK ke bank. Legislator di mata umum identik dengan fasilitas serba mewah dan banyak cuan. Hingga mereka yang baru dilantik seringkali merasa perlu menyesuaikan tampilan. Tak peduli ekonomi sulit, gaya hidup dipaksa untuk tetap nge-hits. Sungguh tradisi miris yang tak patut dilestarikan.

 

Potret Buruk Politik Demokrasi 

 

Kebiasaan wakil rakyat gadai SK seusai dilantik, merupakan salah satu potret buruk politik demokrasi. Tradisi ini disinyalir kuat terkait mahalnya ongkos politik untuk meraih kursi kekuasaan dan maraknya gaya hidup hedon wakil rakyat di sistem sekuler demokrasi.

 

Sistem sekuler demokrasi menihilkan peran Tuhan dalam mengatur kehidupan. Kualitas kepemimpinan yang ada di dalamnya pun jauh dari nilai-nilai kebaikan. Kemampuan mengeluarkan uang sebanyak-banyaknya lebih ditekankan dibanding kecerdasan, kapabilitas, integritas, dan keimanan. Politik pragmatis dan politik uang jadi corak perpolitikan yang niscaya, di mana sistem demokrasi diterapkan.

 

Jargon demokrasi “dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat” nyatanya tak pernah membuat suara rakyat didengar dan diapresiasi. Alih-alih sibuk mengakomodir aspirasi rakyat, memperkaya diri dan melanggengkan kekuasaan justru jadi kesibukan anggota dewan di awal masa jabatan.

 

Meski tidak melanggar hukum dan aturan negara. Perilaku ini berpotensi memicu korupsi. Sebab SK yang digadaikan dapat mendorong politisi terus mencari tambahan pendapatan. Risikonya, penyalahgunaan wewenang untuk menutup kebutuhan membayar cicilan dan biaya politik lain tak terhindarkan.

 

Budaya konsumerisme sebagai konsekuensi dari penerapan sistem sekuler demokrasi ikut mengarahkan manusia untuk menakar eksistensi dari apa yang dipakai dan dimiliki. Pada konteks ini, barang-barang dibeli bukan berdasarkan fungsi dan manfaatnya. Melainkan dari bagaimana barang tersebut bisa mendongkrak citra, status, serta gengsi pemakainya.

 

Gaya hidup hedonis pun niscaya di tengah derasnya gempuran arus konsumerisme. Para legislator tak ketinggalan ikut jadi korbannya. Demi eksistensi, pinjam uang ke bank pun jadi alternatif pemenuhan kebutuhan konsumtif saat kocek pribadi tak mencukupi. Alhasil, biaya politik yang mahal, membuat gadai SK natural.

 

Pandangan Islam

 

Jabatan merupakan amanah dalam Islam. Jabatan bukan keistimewaan, tetapi merupakan tanggung jawab, pengorbanan, dan kerja keras. Jabatan juga bukan kesewenangan bertindak, melainkan kewenangan melayani dan menjadi pelopor keteladanan. Di mana akidah menjadi landasan pelaksanaannya dan hukum syara menjadi standarnya.

 

Islam mengenal Majelis Umat (MU) yang tupoksinya berbeda dengan wakil rakyat dalam demokrasi. Fungsi MU menjadi perpanjangan aspirasi umat yang dipilih karena kepercayaan. Bukan pencitraan yang berbiaya mahal. Wajar jika kepribadian dan integritasnya dipastikan sesuai dengan ajaran Islam. Jauh dari tindak kemaksiatan. Semisal tradisi gadai SK ala anggota dewan yang merupakan perilaku riba yang diharamkan.

 

Keberadaan abdi negara dalam sistem Islam benar-benar nyata dampaknya bagi rakyat. Mereka bekerja sepenuh hati, mencurahkan segenap potensinya atas dorongan ibadah kepada Allah Ta’ala. Mereka berhak mendapat gaji dan tunjangan yang mensejahterakan dari negara. Hingga tak ada celah bagi pengkhianatan dalam segala bentuknya. Mereka akan mendapatkan pembinaan dan pemahaman atas gaya hidup berkah, bukan hidup serba mewah. Jauh dari kebiasaan berutang dan hidup dalam kesederhanaan.

Wallahu a’lam bishawab. [LM/Ss] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis