Impitan Ekonomi Mematikan Naluri Keibuan

  • Oleh : Liya Izzatun Ni’mah

 

Lensa Media News- Satreskrim Polrestabes Medan meringkus empat perempuan yang terlibat jual dan beli bayi seharga Rp 20 juta di Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara (tempo.co, 16-8-2024).

Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal Polrestabes Medan Ajun Komisaris Madya Yustadi mengatakan, terungkapnya kasus berawal dari informasi masyarakat bahwa ada rencana transaksi bayi yang baru dilahirkan di sebuah rumah sakit di Kecamatan Percutseituan pada 6 Agustus 2024.

Berdasarkan informasi tersebut, petugas melakukan penyelidikan dan mendapati MT, 55 tahun, warga Medanperjuangan, sedang menggendong bayi menumpangi becak bermotor menuju Jalan Kuningan, Kecamatan Medanarea, Kota Medan. MT akan menemui Yu, 56 tahun dan NJ, 40 tahun, untuk menyerahkan bayi yang didapat dari SS, 27 tahun, ibu kandungnya.

Untuk saat ini, para pelaku ditahan untuk menjalani proses hukum yang ada. Para pelaku dijerat UU No. 35 tahun 2014dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara.

Sudah tidak terhitung berapa banyak kasus yang terjadi akibat faktor himpitan ekonomi. Manusia tega melakukan pembunuhan, penganiayaan dan bahkan kali ini, menjual bayinya sendiri hanya demi bertahan hidup. Predikat “ibu” yang seharusnya menjadi pelindung bagi anak-anaknya justru berbanding terbalik dengan keadaan saat ini. Mereka telah kehilangan akal sehat dan naluri keibuan. Terlebih peran ibu dalam sistem kapitalisme menjadi sebuah peran yang amat berat karena tidak didukung oleh negara. Maka tak heran, kondisi tersebut makin menguatkan alasan untuk menjual sang buah hati.

Abainya negara dalam menyediakan lapangan kerja membuat para laki-laki begitu sulit mendapatkan pekerjaan, ditambah PHK terjadi dimana-mana.. Angka pengangguran semakin meningkat, sedangkan harga kebutuhan juga semakin mahal. Mereka yang berusaha membuka bisnis sendiri sebagai pelaku UMKM mengaku kalah saing dengan perusahaan-perusahaan besar yang acap kali melakukan monopoli. Mau tidak mau, perempuan harus ikut terjun mencari pemasukan guna mempertahankan keberlangsungan hidup.

Inilah potret rusaknya penerapan sistem kapitalisme yang hanya berorientasi pada materi. Semua hanya dipandang berdasarkan untung rugi. Negara justru berlepas tangan terhadap nasib rakyatnya sendiri.

Di sisi lain, kasus ini mencerminkan gagalnya sistem pendidikan membentuk pribadi yang bertakwa. Dimana sisetem kapitalisme sekulerisme yang memisahkan agama dari kehidupan membuat seorang hamba semakin terjauhkan dari agamanya. Membuatnya pesimis dan mudah goyah menghadapi rintangan kehidupan.

Islam menetapkan peran negara sebagai raa’in (pengurus). Islam memiliki sistem ekonomi yang khas dalam mewujudkan kesejahteraan melalui berbagai mekanisme, termasuk penyediaan lapangan pekerjaan serta pengelolaan sumber daya alam. Negara akan mengembangkan sektor rill baik di bidang pertanian dan kehutanan, kelautan, tambang, industri, meningkatkan volume perdagangan dan menjalankannya sesuai dengan aturan syari’at agar hasilnya dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan rakyat.

Islam juga memiliki sistem pendidikan yang akan membentuk kepribadian Islam. Sistem pendidikan Islam diberikan secara gratis untuk semua masyarakat. Negara wajib menetapkan kurikulum pendidikan yang berlandaskan akidah Islam sehingga terbentuk kepribadian Islam dalam setiap individu. Dengan kebijakan seperti ini maka dapat dipastikan insan-insan yang ada di masyarakat dapat menjadi insan yang mulia, yang senantiasa mengaitkan setiap perbuatan berdasarkan syari’at Islam. Media juga berperan penting dalam mendukung terbentuknya keimanan. Konten-konten yang tidak sesuai syari’at akan dilarang tayang. Jika aturan seperti ini diterapkan dalam institusi negara yakni Daulah Khilafah, Insya Allah ummat mendapat keberkahan hidup dan dapat mewujudkan fungsi keluarga dengan optimal.

[LM/nr]

Please follow and like us:

Tentang Penulis