Impitan Ekonomi antara Kesejahteraan dan Lunturnya Naluri Ibu
Oleh: Punky Purboyowati, S. S
Komunitas Pena
LenSa Media News_Opini_Akhir-akhir ini membaca berita tentang ibu yang menjual bayinya, rasanya teriris sedih. Apalagi ditambah penyebabnya karena himpitan ekonomi, sungguh tambah menyayat hati. Bagaimana tidak, nurani seorang ibu tergadaikan oleh karena kebutuhan ekonomi. Ialah ibu rumah tangga berinisial SS (27) ditangkap karena menjual bayinya Rp 20 juta melalui perantara di Jalan Kuningan, Kecamatan Medan Area, Kota Medan, Sumatera Utara. Wakil Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Besar Medan AKP Madya Yustadi mengatakan, kejadian itu berlangsung pada Selasa (6/8/2024). Alasan SS karena kesulitan ekonomi. Sementara si pembeli bayi karena memang belum memiliki anak,” sambungnya. Para pelaku dijerat dengan UU No 35 tahun 2014 dengan ancaman hukuman 15 tahun penjara. (kompas.com/read/14/08/2024).
Sebenarnya kasus penjualan anak sudah banyak terjadi. Lagi-lagi karena himpitan ekonomi. Ibu layaknya manusia yang lain yang ingin bertahan hidup. Ini menunjukkan bahwa ibu masih belum sejahtera. Sementara naluri sebagai ibu menjadi hilang. Di sisi lain negara abai dengan kesejahteraan ibu. Lalu apa yang harus dilakukan negara agar ibu bisa sejahtera sekaligus mengembalikan nalurinya yang hilang?
Ironi Kesejahteraan Ibu
Bicara ekonomi tak lepas dari bicara kesejahteraan. Secara umum, kesejahteraan adalah kondisi terpenuhinya seluruh kebutuhan baik pangan, sandang, papan warga negara sehingga dapat hidup layak. Kesejahteraan menyangkut kehidupan baik sosial maupun ekonomi agar terpenuhi dengan optimal. Maka jika ada salah satu kebutuhan baik sandang, pangan, dan papannya tidak tercukupi maka ia masih belum dikatakan sejahtera. Belum lagi dengan keamanannya. Sebab individu masyarakat yang sejahtera merasakan keamanan dalam semua aspek.
Namun dalam sistem kapitalis-sekular, tak sedikit yang hidupnya jauh dari kata sejahtera. Terlihat anak-anak terlantar bersama ibunya sedang menggendong adik kecilnya mengemis di jalanan. Adapun seorang ibu menjadi sopir bus bekerja disambi mengasuh anaknya yang masih bayi disampingnya harus mencari nafkah berprofesi sebagai sopir. Tulang punggung keluarga tergantikan oleh ibu. Kini, ibu dieksploitasi perannya untuk menjadi alat pergerakan ekonomi. Semakin banyak ibu yang bekerja, pergerakan ekonomi akan semakin mendapatkan keuntungan besar. Sungguh ironi.
Karena itu sejatinya kehidupan para ibu belum sejahtera. Dalam sistem Kapitalis, menjadi ibu bukan peran yang utama. Sebab tidak menghasilkan apa – apa. Maka kondisi ini bukanlah solusi membangun keluarga sejahtera, justru mengubur naluri seorang ibu. Ketahanan keluarga pun akan hancur bahkan diambang perceraian. Naudzubillahimindzalik.
Kesejahteraan Ibu Yang Hakiki
Dalam Islam, kesejahteraan adalah terbebasnya seseorang dari kemiskinan, kebodohan, dan rasa takut sehingga memperoleh kehidupan yang aman dan tentram secara lahir dan batin. Kesejahteraan tergolong dalam makna Rahmatan lil alamin jika sesuai dengan apa yang diperintahkan dan yang dilarang Allah SWT. Manakala Islam berkuasa, ajarannya sangat mampu menyejahterakan manusia selama 1300 tahun lamanya. Kesejahteraan terwujud manakala aturan syariat Islam secara kaffah diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan.
Hal itu menjadi bukti konkret dapat dirasakan oleh para ibu. Negara Islam (Khilafah) sebagai pelaksana aturan, menyediakan lapangan pekerjaan yang luas bagi laki – laki. Sebab kewajiban mencari nafkah dibebankan pada mereka. Sedangkan wanita tidak diwajibkan bekerja namun diwajibkan mendidik anak dan mengurus rumah tangga. Negara wajib melindungi dan memuliakannya. Tidak mempekerjakan mereka apalagi mengeksploitasinya. Karena hal itu sama dengan dzalim terhadap wanita. Islam hadir untuk membebaskan manusia dari segala bentuk kedzaliman. Karena itu apa yang terjadi saat ini sangat bertolak belakang sekali dengan ajaran Islam itu sendiri.
Dalam hal pemenuhan sandang, pangan, dan papan bagi rakyatnya adalah kewajiban negara. Maka Islam memiliki sistem ekonomi yang mensejahterakan rakyat melalui berbagai mekanisme, termasuk banyaknya lapangan pekerjaan. Islam juga memiliki sistem pendidikan yang akan membentuk kepribadian Islam. Sehingga akan melahirkan pribadi yang bertaqwa. Segala pemenuhan kebutuhan diraih dengan jalan taqwa semata – mata karena Allah SWT. Hal itu dapat didukung salah satunya melalui media agar terbentuknya ketaqwaan individu di masyarakat.
Dengan penerapan Islam kaffah akan mampu diwujudkan kesejahteraan yang hakiki serta mengembalikan fungsi keluarga sesuai Syariat Islam. Saatnya Indonesia peduli dengan nasib keluarga terutama ibu dengan mewujudkan kesejahteraannya yang hakiki. Negara harus mendukung peran dan naluri keibuannya sehingga figur keibuannya mampu mencetak generasi berkualitas, beriman, dan bertaqwa pada Allah SWT. Wallahua’lam bisshowab.
(LM/SN)