Meneroka Pilgub Jatim 2024 (7): Pilgub, Tahta, dan Wanita
Oleh: Hanif Kristianto
(Analis Politik dan Media)
LenSa Media News_Opini_Akhirnya Pilgub Jatim 2024 muncul dua wanita tangguh. Luluk Nur Hamidah dari PKB dan Tri Rismaharini dari PDI-P. Luluk sendiri dikenal sebagai politisi asal Jawa Tengah. Praktis, namanya masih asing di telinga publik Jawa Timur. Lain halnya Tri Rismaharini, Walikota Surabaya ini sebelum menjadi Mensos sudah dikenal luas. Tampaknya wacana melawan kotak kosong hilang dibuang dalam tong. Alhasil, pilgub Jatim akan diwarnai tiga srikandi yang berebut tahta.
Posisi strategis Jatim yang sering digaungkan sebagai pintu gerbang IKN. Meski Jakarta menjadi jalan pintas menuju Indonesia-1, namun Jatim sangat menarik bagi kepentingan politik dan ekonomi. Siapapun yang maju merebut Jatim-1 akan memahami tugas yang tidak mudah. Nasib 41 juta penduduk Jatim di pundak pemimpin baru nantinya.
Kehadiran perempuan dalam kancah pemilu demokrasi seiring kesetaraan gender dalam politik. Hal ini juga agenda demokratisasi di negeri-negeri kaum muslimin. Pasalnya selama ini perempuan dianggap hanya berada di garda belakang. Belum lagi ada benteng besar bagi perempuan untuk tidak menjadi pemimpin pemerintahan.
Pilgub dan Tahta
Publik tidak perlu heran dengan perebutan tahta dalam pilgub Jatim 2024. Sejatinya ini perebutan kepentingan partai politik yang ingin men skenario tahta dan bagian kekuasaan. Kondisi ini tidak berlepas dari karakter politik demokrasi yang berbagi kekuasaan. Hal yang tampak dalam rekomendasi partai politik meski tidak ada nilai, tapi terdapat kontrak politik. Jadi tidak ada dukungan yang cuma-cuma.
Keegoan partai politik hampir saja meniadakan pendidikan politik. Rakyat sebagai konstituen hanya dikasih pemahaman dalam memilih dan mencoblos calon pemimpin. Komunikasi politik yang dibangun pun sekedar transaksional. Rakyat tidak benar-benar memahami hakikat suksesi kepemimpinan. Alhasil, rakyat kembali disibukkan dengan pilgub, pilkada, dan rebutan tahta. Lantas, kenapa perebutan tahta itu penting bagi politisi demokrasi? Berikut analisisnya:
Pertama, Pilgub menjadi saringan bagi partai politik untuk menyeleksi kadernya. Terdapat posisi di atas yaitu presiden Indonesia. Pola inilah yang dipakai PDI-P tatkala menaikkan Joko Widodo menjadi Presiden RI. Pemimpin dari rakyat sipil menjadi gaya komunikasi setelah masa orde baru dari militer. Gaya dari rakyat menjadi kekuatan meraup dukungan untuk kemenangan.
Kedua, golden tiket berupa surat rekomendasi dari partai politik menjadi penting. Tanpa perahu kapal agak berat memenangi pemilihan. Pasalnya modal politik dan gerakan masa akar rumput jika tidak ada rekayasa sosial mustahil akan mendukung pasangan tertentu. Memang ada jalur independen, namun kemungkinan menang kecil.
Ketiga, calon perempuan yang maju sebenarnya untuk meraup suara perempuan. Isu-isu perempuan saat ini menjadi sensitif dan digaungkan. Terlebih di kalangan global. Kampanye kesetaraan gender inilah yang menjadi arus utama. Jika dilihat di pilgub Jatim 2024, karena yang maju sebagai cagub perempuan, sebisa mungkin penantangnya perempuan. Nah, beruntung PKB dan PDI-P punya kader perempuan potensial.
Keempat, tahta menjadi penunjuk kedigdayaan partai politik. Kepentingan politik partai di atas segalanya. Tak memperdulikan ideologi partai, prapol lebih cair dalam koalisi. Siasat dalam mempertahankan tahta seiring menjauhkan partai dari rakyat. Rakyat hanya didorong di awal pemilihan dengan memilih penawaran calonnya. Sementara rakyat dalam keterbelakangan politik dalam mengurusi kehidupannya.
Kelima, politik demokrasi tidak sungguh-sungguh dalam mengurusi rakyat. Sedapat mungkin di awal mengamankan tahta untuk melanggengkan kekuasaan berikutnya. Bisa jadi pola 212 dipakai. 2 tahun berfikir membagi kekuasaan. 1 tahun bekerja dan penuh pencitraan. 2 tahun mengumpulkan modal politik untuk pemilihan lanjutan.
Tahta bagi politik demokrasi di atas segalanya. Terlebih demokrasi berdasar dari sekulerisme dan ditopang liberalisme. Alhasil, menuju tahta bisa saja menghalalkan segala cara. Kalau tujuannya tahta, bagaimana nasib rakyatnya? Inilah pemikiran yang perlu diketengahkan dalam publik.
Kesadaran Politik
Satu hal yang tidak dimiliki rakyat saat ini adalah kesadaran politik. Kesadaran ini telah hilang dan sengaja dihilangkan oleh politisi demokrasi. Ironi jargon demokrasi dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat faktanya tidak demikian. Rakyat hanya menentukan pilihan dalam bilik-bilik suara. Setelah itu suara rakyat nyaring tak terdengar. Giliran suara penguasa di atas segalanya dengan kebijakan yang tak pro rakyat.
Termasuk kesadaran politik terkait perempuan maju di pilkada politik demokrasi. Terdapat perbedaan yang mendasar dengan politik Islam. Berkaitan dengan kepemimpinan pemerintahan, politik Islam unik bahwa pemimpin dari laki-laki. Ini bukan pembahasan gender dan kapabilitas. Lebih pada ketaatan kepada aturan Allah dan Rasul-Nya. Perempuan tetap mulia dengan posisinya di bidang administrasi dan koreksi penguasa, misalnya Majelis Umat.
Pengarusutamaan kesadaran politik hendaknya diambil peran oleh partai politik. Sayangnya, jika parpol berideologi kapitalisme dan sosialisme, taka akan serius mencerdaskan rakyat. Begitupun kesadaran politik bukan hanya domain politisi dan partai politik, tapi juga bisa secara umum dengan kualitas apapun.
Kesadaran politik dalam pilkada rakyat harus tetap waspada. Jangan sampai yang maju sebagai cagub-cawagub memalingkan fokus rakyat. Rakyat harus tetap menuntut hak dan kewajibannya. Tidak boleh abai, bahkan menjauhkan diri dari urusan ini. Amar ma’ruf dan nahi munkar tetap dijalankan kepada penguasa siapapun. Terlebih mendorong penguasa untuk menaati Allah dan Rasul-Nya dengan menjalankan syariah. Kontestasi pilgub hanya bagian kecil dari pesta yang menelan biaya tak sedikit tentunya. Pun jadi ajang perebutan tahta di antara tiga wanita dengan tiga laki-laki di sampingnya.
(LM/SN)