Indonesia Darurat akibat Meninggalkan Syariat

Oleh Siska Juliana

 

 

LenSa MediaNews__ Kondisi darurat sedang menyelimuti Indonesia. Ramai di media sosial tagar #PeringatanDarurat.

Tagar itu muncul akibat kekecewaan masyarakat terhadap adanya pelanggaran konstitusi setelah Badan Legislatif (Baleg) DPR yang memutuskan threshold atau ambang batas syarat pencalonan kepala daerah tetap 20 persen dari jumlah kursi di parlemen. Hal tersebut tertuang dalam draf Revisi UU No. 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

 

Keputusan Baleg ini telah mengoreksi putusan MK yang sudah menghapus threshold atau ambang batas tersebut. (nasional.tempo.co, 22-08-2024)

 

Dengan mengabaikan keputusan MK, maka calon kepala daerah yang masuk ke Pilkada 2024 hanya akan berasal dari koalisi partai mayoritas. Masyarakat merasa bahwa hal itu akan mencederai demokrasi yang semestinya membuka banyak pilihan calon pemimpin daerah bagi masyarakat.

 

Dari fakta tersebut kita mendapati bahwa menjelang Pilkada, gonjang-ganjing politik makin terasa. Ada yang bernafsu untuk mempertahankan politik dinasti dengan mengubah berbagai aturan. Ada pula yang ingin terus menjegal pihak lawan. Mereka tidak peduli lagi pada ideologi, bahkan halal dan haram. Semua itu dilakukan demi meraih atau mempertahankan kekuasaan.

 

Semua itu menunjukkan bahwa banyak pihak, baik itu rezim yang berkuasa, parpol, para anggota DPR, makin bersikap pragmatis. Alih-alih peduli terhadap kepentingan rakyat, mereka hanya mementingkan diri sendiri dan kelompoknya.

 

Asas pragmatisme merupakan manfaat. Alhasil, setiap keputusan yang dikeluarkan hanya mengejar manfaat semata. Tidak peduli lagi pada ideologi, atau syariat Islam.

 

Demokrasi sangat erat kaitannya dengan pragmatisme. Para penguasa sering kali mengutamakan kepentingan pribadi, golongan, bahkan asing. Faktanya, banyak undang-undang yang menguntungkan penguasa dan merugikan bagi rakyat. Misalnya UU Minerba, UU Migas, UU Cipta Kerja, UU IKN, dan sebagainya.

 

Demikian pula UU Pemilu/Pilkada yang dirancang untuk melahirkan penguasa dan wakil rakyat yang pro penguasa bukan pro rakyat.

 

Aksi yang dilakukan oleh masyarakat akibat geramnya mereka terhadap negara yang berada di bawah cengkeraman oligarki. Penguasa dengan mudahnya mengubah aturan demi kepentingannya sendiri.

 

Hanya saja, kesadaran umat atas kerusakan yang ditimbulkan oleh kapitalisme demokrasi belum mampu menyuarakan solusi. Rasa marah atas ketidakadilan yang dialami masyarakat belum menyimpulkan solusi yang mereka inginkan.

 

Nyatanya, silih bergantinya pemimpin tidak mampu membawa kesejahteraan bagi rakyat. Sebab, sistem kapitalis yang dijalankan saat ini merupakan sistem batil. Jadi sebaik apa pun pemimpinnya, kalau sistem yang digunakan rusak, tetap tidak akan dapat membawa rakyat pada kehidupan yang sejahtera.

 

Diibaratkan seperti seorang sopir yang kuat dan berpengalaman, pasti akan mengalami kesulitan saat menjalankan mobil yang rusak. Begitupun negara, sehebat apa pun pemimpinnya, rakyat tidak akan sejahtera jika aturan yang dipakai salah.

 

Maka, dibutuhkan sistem sahih yang mampu menyejahterakan umat. Sistem tersebut adalah Islam. Sebab Islam merupakan ideologi yang berasal dari Allah Swt., Sang Maha Pencipta dan Pengatur kehidupan.

 

Politik dalam Islam adalah aktivitas mengurus dan mengelola urusan masyarakat sesuai dengan syariat Islam. Negara Islam mengatur, mengurus, dan melindungi umat dalam berbagai aspek kehidupan (ekonomi, pendidikan, hukum, hubungan diplomatik, jihad, dan lain-lain).

 

Dengan demikian, politik dalam Islam terikat dengan hukum syarak yaitu halal dan haram. Tidak sama dengan politik dalam demokrasi yang berdasarkan asas manfaat. Sebab, asas manfaat didominasi oleh hawa nafsu, pasti menimbulkan kerusakan. Sedangkan segala sesuatu yang didasari syariat pasti mendatangkan kemaslahatan.

 

Umat Islam diperintahkan oleh Allah untuk menjalankan syariat Islam secara kafah di berbagai aspek kehidupan (QS. Al-Baqarah: 208). Kaum muslimin wajib menjadikan wahyu Allah SWT sebagai pemutus segala urusan, tidak mengikuti hawa nafsu.

 

“…Maka, putuskanlah (perkara) mereka menurut aturan yang diturunkan Allah dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu mereka dengan (meninggalkan) kebenaran yang telah datang kepadamu…” (QS. Al-Maidah: 48)

Rasulullah saw. bersabda, “Aku telah mewariskan untuk kalian dua perkara, kalian tidak akan tersesat selama berpegang teguh pada keduanya, yakni Kitab Allah (Al-Qur’an) dan Sunah Nabi-Nya.” (HR. Malik dan Al-Hakim)

 

Oleh karena itu, sudah saatnya umat Islam meninggalkan pragmatisme dan sistem demokrasi yang senantiasa melahirkan permasalahan baru. Karena inti demokrasi adalah kedaulatan rakyat, yang artinya seluruh aturan merupakan hasil pemikiran manusia yang lemah dan terbatas. Padahal hak membuat hukum hanyalah milik Allah.

 

Jadi, marilah kita senantiasa untuk mempelajari, mengamalkan, menerapkan, dan menegakkan syariat Islam secara kafah. Hanya dengan jalan itu, negeri ini bisa mendapat keberkahan dari langit dan bumi. Wallahu’alam bishshawab.

Please follow and like us:

Tentang Penulis