Anomali Demokrasi : Aparat Brutal Bak Feodal

Oleh: Ariani

Guru dan penulis Muslimah

 

LenSa Media News–Heboh, Ribuan massa aksi demonstrasi yang menolak RUU Pilkada terlibat bentrokan dengan tim gabungan TNI-POLRI di depan gedung DPR RI, Senayan Jakarta pada Kamis (22-8-2024).

 

Bentrokan antara massa demonstran dengan aparat terjadi sekitar pukul 16.40 WIB sesaat ketika salah satu pagar kompleks DPR RI berhasil dijebol. Massa mulai melempari polisi dengan batu, kemudian dibalas dengan satu kali tembakan gas air mata oleh tim gabungan TNI/Polri (bisnis.com, 22-08-2024). Di Semarang, setidaknya 15 mahasiswa dari berbagai kampus dirawat di RS Roemani akibat tembakan gas air mata (amnesty.id, 22-08-2024).

 

Ketua YLBHI, Muhammad Isnur mengungkapkan, ada puluhan tindakan represif, intimidasi, sampai kekerasan terhadap massa aksi. Ia juga menyoroti kasus represif pihak kepolisian yang terjadi di Semarang, Makassar, Bandung, dan Jakarta.

 

Tindakan represif ini merupakan pelanggaran hukum, tindak pidana, dan melanggar peraturan internal Kapolri Nomor 1 Tahun 2009, kepolisian tidak boleh terpancing, tidak arogan, dan tidak melakukan kekerasan saat situasi kerumunan massa aksi tidak terkendali (nasional.tempo.co, 25-08-2024).

 

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan bahwa kekerasan yang dilakukan oleh aparat jelas bertentangan dengan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. 9 Tahun 2008 tentang Tata Cara Penyelenggaraan, Pelayanan, Pengamanan dan Penanganan Perkara Penyampaian Pendapat di Muka Umum mengatur kewajiban dan tanggung jawab polisi untuk melindungi HAM dan juga menghargai prinsip praduga tidak bersalah (amnesty.id, 22-08-2024).

 

Catatan buruk ini bukan kali pertama dalam wajah demokrasi Indonesia. Tercatat, setelah turun ke jalan menggaungkan TRITURA, terjadi unjuk rasa besar-besaran mahasiswa pada 24 Februari 1966 mendesak Presiden Soekarno turun takhta. Saat itu terjadi bentrokan antara demonstran melawan Resimen Cakrabiwara di depan Istana Negara.

 

Dalam insiden itu, seorang mahasiswa Fakultas Kedokteran UI bernama Arif Rahman Hakim tewas tertembak. Pada 12 Mei 1998 tejadi Tragedi Trisakti sebuah gelombang demo mahasiswa dipicu mulai goyahnya ekonomi Indonesia sejak awal 1998 imbas dari krisis moneter dan menuntut Presiden Soeharto lengser.

 

Peristiwa itu telah merenggut nyawa 4 mahasiswa Universitas Trisakti (nasional.tempo.co,12-05-2024). Beberapa jurnalis di media mencatat tindakan represif aparat negara terhadap demo mahasiswa masih ada bahkan setelah era reformasi.

 

Terjadi beberapa unjuk rasa karena tersumbatnya aspirasi rakyat terhadap kebijakan penguasa yang mengkhianati rakyat. Dan tindakan represif aparat tentunya di bawah restu penguasa yang gerah. Inilah anomali demokrasi dengan konsep HAM yang hiprokit.

 

Kebebasan berpendapat tidak berlaku ketika mengganggu penguasa dalam melanggengkan kekuasan golongan tertentu. Politik dalam demokrasi adalah akses utama mencapai kekuasaan untuk memenuhi syahwat dunia para pemilik modal.

 

Sekulerisme telah memberikan  rakyatnya  jebakan kapitalisme dengan bebas merancang UU untuk memeras rakyat dan mengekploitasi kekayaan alam untuk kepentingan suatu golongan. Sekulerisme menafikan hukum Allah dan melenggangkan hukum buatan manusia demi kepentingan golongan tertentu.

 

Sistem demokrasi dengan trias politikanya ternyata membentuk rezim otoritarian baru, yakni pemilik modal. Para pemilik modallah yang kemudian menguasai ketiga pilar demokrasi (eksekutif, legislatif, yudikatif). Penguasa lebih tunduk dan berpihak kepada pengusaha yang mendanai penguasa terpilih (kompasiana.com, 14-03-2015). Lalu kepada suara rakyat harus disampaikan jika tidak turun ke jalan?

 

Dalam Islam terdapat kewajiban untuk mengoreksi penguasa yang menyimpang. Islam mengingatkan pentingnya mengoreksi kezaliman penguasa meskipun taruhannya adalah kematian. Rasulullah saw. bersabda, ” Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib dan seseorang yang berdiri menentang penguasa zalim dan ia terbunuh karenanya” (HR. abu Dawud).

 

Dalam sistem pemerintahan Islam terdapat pengimbang kekuatan eksekutif, yaitu Majelis Umat dan mahkamah mazhalim. Rakyat yang merasa dizalimi oleh penguasa boleh mengadukan perkaranya kepada mahkamah mazhalim ini.

 

Lembaga ini memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh penguasa-penguasa dan hakim-hakim ataupun anak-anak dari orang-orang yang berkuasa (jendelahukum.com,11-07-2020).

 

Sedangkan Majelis Umat merupakan wakil rakyat, dalam konteks syura (memberi masukan) bagi yang muslim, dan syakwa (komplain/pengaduan) dari non-muslim atas hak mereka sebagai warga negara (anaksholeh.net, 31-08-2024). Sungguh agung hukum-hukum syariah yang diturunkan oleh sang Al-khaliq sebagai satu-satunya yang Maha Pencipta dan Maha Pengatur. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis