Robohnya Keluarga Kami
Oleh Ummu Zhafran
Pegiat literasi
LenSa MediaNews__ Ibarat sebuah bangunan, keluarga juga merupakan tempat bernaung. Setiap anggota di dalamnya berhak pulang untuk melabuhkan segala rasa. Lelah, letih dan penat setelah berjibaku dengan aktivitas di luar rumah idealnya lebur dengan berkumpulnya semua anggota keluarga. Bukankah hal itu yang seorang anak rasakan saat disambut ibu sepulang sekolah? Pun ayah saat kembali ke rumah bercengkerama dengan buah hati? Amboi, tak berlebihan kiranya jika banyak pujangga menganalogikan keluarga dengan rumah itu sendiri. Keluarga adalah rumah kita.
Layaknya rumah yang dilengkapi ruangan dengan fungsi tersendiri, keluarga pun demikian. Setidaknya terdapat 8 fungsi keluarga menurut BKKBN yang sesuai realitasnya yang dapat disaksikan sehari-hari. Yaitu fungsi keagamaan, sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi dan pembinaan lingkungan. Jika semua berjalan baik dengan landasan yang benar maka bangunan keluarga akan kokoh meski diterpa badai kehidupan.
Lain cerita bila yang berlaku sebaliknya, maka robohnya sebuah keluarga tinggal menunggu waktu. Malangnya, kondisi yang disebut terakhir yang banyak terjadi saat ini; rapuhnya ikatan antar anggota keluarga dan lemahnya iman sebgai landasan.
Terbaru, seorang anak tega membunuh bapak kandung dan melukai adiknya sendiri. Pemicunya, tak terima ditegur lalu gelap mata karena emosi. (tribunnews.com, 28-8-2024)
Masih banyak lagi kasus serupa. Ada pula seorang ibu yang bahkan sampai hati menjual bayi yang baru dilahirkan senilai 20 juta rupiah dengan alasan kesulitan ekonomi. (tempo.co, 16-8-2024)
Miris, rusaknya akhlak dan tuntutan mengejar materi hanya sedikit di antara banyaknya indikator berlakunya kapitalisme di negeri ini. Sudah menjadi tabiat ideologi tersebut membentuk perilaku nir adab dan menjadikan cuan maupun keuntungan sebagai hal prioritas untuk dikejar. (wikipedia)
Sampai di sini tak berlebihan kiranya jika kapitalisme dituding sebagian kalangan sebagai biang kerok yang merusak harmoninya fungsi keluarga. Indikasinya jelas, sistem kapitalis menjadikan sekularisme sebagai asasnya. Dengan kata lain sistem ini ingin mengatur kehidupan namun dengan mengabaikan nilai agama. Lihat saja ketika agama Islam yang mayoritas di negeri ini dipelajari sebatas soal salat, puasa, zakat, nikah, talak, rujuk dan waris. Seolah Islam gagap dalam menghadapi aneka problem yang menghadang di depan mata.
Padahal tidak demikian. Bukan Islam, melainkan kapitalisme yang gagal menghadirkan solusi tuntas. Contoh, terhadap problem kesejahteraan rakyat terbukti kebijakan dalam sistem kapitalis hanya melahirkan kesenjangan yang tajam antara kaya dan miskin. Di satu sisi ada yang sanggup membeli sepotong roti seharga ratusan ribu, sementara banyak yang lainnya harus kerja keras demi bisa makan sekali sehari.
Sangat berbeda jauh dengan Islam. Berangkat dari hadis Rasulullah saw.,
“Imam itu laksana penggembala, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban akan rakyatnya (yang digembalakannya)” (HR. Imam Bukhari dan Imam Ahmad)
Maka pemimpin yang memimpin negara bertugas mengurusi dan menjamin semua kebutuhan setiap individu rakyatnya tanpa kecuali. Penerapan syariah secara totalitas (kafah) niscaya menunjang tugas tersebut. Tak ketinggalan soal menyediakan lapangan kerja dan menerapkan sistem pendidikan berbasis akidah Islam.
Sebab, mustahil mengharapkan bangunan keluarga yang tangguh jika hidup dalam kemiskinan dan tak cukup pangan. Tak bisa pula mengharapkan kondisi keluarga bisa kuat apabila terus-menerus diserang pemikiran sekularisme yang memicu perilaku yang merusak. Seperti yang mengepung anak-anak kita sekarang ini, gaul bebas, childfree, penyimpangan seksual, KDRT, hingga bebasnya layanan kontrasepsi.
Semua hal di atas berkontribusi pada kerapuhan tatanan keluarga. Maka tepat kiranya guna mewujudkan keluarga yang kuat dan tangguh, tidak hanya keluarganya yang harus diperbaiki, tetapi sistem kehidupan yang diterapkan juga menuntut untuk dibenahi bahkan diganti. Pastinya dengan sistem yang datang semata dari tuntunan wahyu Allah SWT melalui Rasulullah saw.
Mari bersinergi mengkaji dan memahami dan mengambil kembali Islam sebagaimana yang diinginkan Rasulullah saw. Apalagi menaati syariah Allah SWT merupakan konsekuensi dari keimanan seorang hamba yang notabene juga makhluk ciptaan-Nya. Nantinya bukan hanya keluarga yang akan terjaga, tapi juga masyarakat dan negara seperti yang terjadi sepanjang masa kejayaan peradaban Islam. Sekali lagi mari bersegera menyambut seruan Islam, jangan biarkan bangunan keluarga kita rapuh lalu roboh kemudian. Wallahua’lam.