Habis Flexing Terbitlah Dugaan Gratifikasi

Oleh: Ummu Haidar

 

LenSa Media News–Gaya hidup dan harta kekayaan pejabat negara tengah menjadi sorotan publik. Pasalnya belakangan ini marak keluarga pejabat yang doyan pamer harta dan barang mewah (Flexing) di media sosial yang diungkap warganet alias netizen.

 

Salah satunya yang sedang trending perbincangan terkait pamer harta atau gaya hidup mewah Kaesang Pangarep dan istrinya Erina Gudono yang tak kunjung surut di jagad media sosial (medsos). Mulai daftar belanjaan, kekayaan Kaesang, hingga pemilik jet mewah yang mengantar Kaesang-Erina ke AS, terus diulas.

 

Buntutnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sedang mengusut dugaan gratifikasi yang diterima oleh anak dan menantu Presiden Joko Widodo (Jokowi) Kaesang Pangareb-Erina Gundono. Adapun dugaan gratifikasi dimaksud berupa fasilitas perjalanan ke Amerika Serikat dengan jet pribadi Gulfstream G650. Serta, sejumlah barang mewah seperti tas bermerek yang dimiliki oleh Erina (Inilah.com, 27-08-2024).

 

Jejak unggahan media sosial terduga penerima gratifikasi ditambah informasi dari warganet terkait borok pejabat negara yang terbiasa mendapat fasilitas mewah dari pengusaha kala berwisata bisa menjadi modal awal aparatur hukum untuk mengusut dugaan gratifikasi.

 

Apalagi nilai sewa pesawat jet yang fantastis tak sesuai dengan profil Kaesang. Bisnis pisang gorengnya gulung tikar di mana-mana. Maka sangat mencurigakan dengan kondisinya tersebut, ia bisa menyewa pesawat jet dengan mudahnya.

 

Fenomena flexing sejatinya menunjukkan lenyapnya makna kebahagiaan hakiki dari masyarakat. Sistem kapitalisme sekuler yang menjadikan ukuran kebahagiaan hanya berdasarkan pencapaian duniawi semata telah melahirkan masyarakat yang tamak, individualis, hedonis dan materialistis.

 

Hal tersebut diperparah dengan asas sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan menciptakan jiwa-jiwa yang kering dan gersang. Jauh dari aturan Tuhan hingga rentan stress, depresi dan melahirkan sikap insecure (tidak percaya diri). Akibatnya, untuk menunjukkan eksistensii, perilaku flexing pun jadi konsekuensi tak terhindari.

 

Dilain sisi, penegakan aturan yang memihak para pemilik kapital berdampak pada sulitnya masyarakat mengakses sumber-sumber ekonomi, merajalelanya budaya suap, gratifikasi dan korupsi disertai kemerosotan moral dan lemahnya pengawasan negara, menjadi pemicu suburnya tren flexing di jagat maya.

 

Para pejabat berjiwa nirempati pun bermunculan di sistem ini. Tak segan pamer gaya hidup mentereng ditengah ekonomi rakyat yang melemah. Wajar jika jurang sosial yang kian dalam, menjadi biang timbulnya berbagai tindak kriminal.

 

Kondisi yang berbanding terbalik dengan negara yang berada dalam naungan Islam. Ketundukan kepada syariat menjadi napas kehidupan. Halal-haram jadi standart yang wajib diterapkan. Sementara makna kebahagiaan hakiki adalah teraihnya rida Illahi.

 

Islam tidak melarang pejabat maupun warga negaranya memiliki kekayaan melimpah. Syaratnya harta kekayaan tersebut harus diperoleh dari cara yang dibenarkan oleh syariat, seperti berdagang. Bukan melalui cara-cara yang diharamkan semisal korupsi, pencucian uang, penipuan, suap ataupun gratifikasi.

 

Penguasa yang terlahir dalam sistem Islam dipastikan terjaga akidah dan akhlaknya. Kekayaan melimpah yang memungkinkan dimiliki olehnya, tidak lantas menjadikan diri sebagai individu yang sombong dan memamerkan pencapaian duniawinya. Namun, justru bergaya hidup sederhana hingga dicinta dan diteladani oleh rakyatnya.

 

Islam dengan mekanismenya yang sempurna memastikan negara memiliki badan pengawas keuangan. Tanggung jawab badan ini mengawasi setiap penguasa dan abdi negara dalam urusan kinerja maupun sumber kekayaan yang dimilikinya.

 

Sejarah mencatat bahwasanya Khalifah Umar bin Khattab pernah mengangkat pengawas keuangan yakni Muhammad bin Maslamah yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat. Pembuktian terbalik menjadi metode yang diterapkan pada pejabat yang diduga melakukan penyalahgunaan kekuasaan untuk memperkaya diri maupun penyalahgunaan kekayaan negara.

 

Teknisnya, kekayaan pejabat dihitung di awal dan akhir jabatannya. Jika terdapat ketidakwajaran, pejabat bersangkutan diminta membuktikan kehalalan cara memperoleh kekayaannya. Jika tidak mampu membuktikan, maka kelebihan harta atau disebut harta ghulul  wajib diberikan pada Baitulmal dan menjadi pos kepemilikan negara.

 

Demikianlah, negara wajib melindungi masyarakat dari segala propaganda yang merusak termasuk flexing dan budaya liberal lainnya. Rakyat akan diarahkan pada aktifitas produktif nan membawa maslahat bagi umat. Negara menegakkan hukum peradilan yang adil dan berefek jera bagi tiap pelaku kemaksiatan. Alhasil, kebahagiaan hakiki akan terwujud dalam kehidupan. Wallahualam bissawab. [ LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis