Korban Semakin Tersiksa dengan Legalnya Aborsi

Oleh: Zhiya Kelana, S.Kom.
Aktivis Muslimah Aceh

Lensamedianews.com, Opini – Maraknya kasus pemerkosaan atau kekerasan seksual mengakibatkan kehamilan yang tidak diinginkan. Hal ini memicu pemerintah untuk mengesahkan UU yang membolehkan untuk para korbannya melakukan aborsi, namun hal ini sangat bertentangan dengan pemahaman Islam dan mayoritas kaum muslim di negeri ini.

“PP 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana UU Kesehatan soal aborsi sudah sesuai dengan Islam hanya kurang ketentuan soal boleh aborsi karena diperkosa itu harus usia kehamilannya sebelum usia 40 hari. Ulama sepakat tidak boleh aborsi sesudah ditiupnya ruh, usia kehamilan di atas 120 hari,” kata Cholil saat dihubungi, Kamis (1/8). (MediaIndonesia.com)
Kebolehan aborsi untuk korban pemerkosaan yang hamil dalam PP 28/2024 dianggap sebagai salah satu solusi untuk korban pemerkosaan. Padahal sejatinya tindakan aborsi akan menambah beban korban karena tindakan aborsi meski legal tetap berisiko. Dan yang harus diingat, tetap harus memerhatikan hukum Islam atas aborsi yang haram dilakukan, kecuali ada kondisi-kondisi khusus  yang dibolehkan hukum syara.
Dalam fatwa Nomor 1/MUNAS VI/MUI/2000 menyebut melakukan aborsi (pengguguran janin) sesudah nafkh al-ruh hukumnya adalah haram, kecuali jika ada alasan medis, seperti untuk menyelamatkan jiwa si ibu. Melakukan aborsi sejak terjadinya pembuahan ovum, walaupun sebelum nafkh al-ruh, hukumnya adalah haram, kecuali ada alasan medis atau alasan lain yang dibenarkan oleh syariat Islam. Mengharamkan semua pihak untuk melakukan, membantu, atau mengizinkan aborsi.

Adanya kasus pemerkosaan di negeri ini sejatinya juga menunjukkan bahwa negara tidak mampu memberi jaminan keamanan bagi perempuan, bahkan meski sudah ada UU TPKS. Oleh karena itu, negara harus mengupayakan pencegahan dan jaminan keamanan yang kuat atas perempuan.

Tentu saja hal ini tidak lepas dari kerusakan sistem saat ini, yang dimana setiap perilaku manusianya tidak sesuai dengan syariat, yaitu menutup aurat dan untuk menjaga dirinya agar tidak diganggu yang merupakan sebuah jaminan dari Allah. Belum lagi individunya bukanlah orang yang bertakwa, sehingga sesuatu yang memicu syahwat mengakibatkan kepada pelecehan seksual dan pemerkosaan.

Islam memuliakan perempuan, karena itu para wanita dianjurkan untuk menutup auratnya dengan sempurna. Negara pun memberikan jaminan keamanan atas perempuan dan memiliki sistem sanksi yang tegas dan menjerakan dengan hukum rajam dan cambuk kepada pelakunya. Sehingga tidak akan ada yang berani melakukan pelecehan seksual.

Riwayat hadis Rasulullah saw. dari Ubadah bin Shamit ra. Ia berkata,
“Camkanlah, camkanlah! Allah telah menetapkan jalan untuk para wanita. Jika yang berzina adalah pemuda lajang dengan seorang gadis (zina ghairu muhshan), hukumannya adalah seratus kali cambuk dan pengasingan selama satu tahun. Dan jika pelakunya lelaki yang sudah menikah dengan wanita yang juga sudah menikah (zina muhshan, hukumannya adalah seratus kali cambuk dan rajam.” (HR. Muslim).

Sistem Islam juga meniscayakan terbentuknya kepribadian Islam yang menjaga individu berperilaku sesuai tuntunan Islam, sehingga dapat mencegah terjadinya pemerkosaan juga pergaulan bebas. Islam juga mewajibkan negara hanya menerapkan sistem Islam termasuk dalam sistem sanksi dan sistem sosial. Yaitu pemisahan antara lelaki dan perempuan kecuali di dalam hal yang dibolehkan syarak seperti muamalah, pendidikan, pengobatan, dan pengadilan. Islam juga mewajibkan negara menjaga dan melindungi perempuan korban pemerkosaan sesuai dengan tuntunan Islam. Agar korban tidak trauma dan lainnya. Wallahu a’lam. [LM/Ah]

Please follow and like us:

Tentang Penulis