Menghadapi Anak Ngeyel

Oleh. Netty al Kayyisa

 

 

LenSa MediaNews__ Anak usia mumayyiz dan baligh awal perkembangan akalnya sudah semakin meningkat. Mereka sudah bisa membedakan mana yang benar dan salah, menceritakan kembali sebuah peristiwa, dan tentunya membutuhkan eksistensi diri. Di usia baligh awal, masa pencarian jati diri mulai berkembang, mulai tertarik kepada lawan jenis, emosinya yang meluap-luap dan mulai tertarik untuk berkomunitas dengan teman sebaya. Pada usia ini anak biasanya cenderung mengikuti komunitasnya, merasa mampu menyelesaikan masalahnya sendiri dengan kemampuan yang dimiliki.

 

Pada faktanya meski anak-anak masuk usia baligh awal (10-15 tahun) mereka tetap butuh pendampingan dalam memutuskan. Mereka belum bisa sepenuhnya dilepaskan dan menghadapi kehidupan dalam sistem kapitalisme yang mencengkeram. Bahkan jika salah jalan dan memperturutkan nafsu di usia ini maka akan menjadi kegagalan di masa depan.

 

Tak jarang orang tua kewalahan dengan setiap argumentasi yang mereka lontarkan dan sikap selalu ingin menang. Sikap ngeyel itu akan terus terbawa jika orang tua tak mampu memberikan argumentasi yang masuk akalnya, atau memang si anak didominasi hawa nafsunya.

 

Menghadapi anak usia baligh awal orang tua tak bisa terlalu mengekang atau membebaskan. Mengekang mereka hanya akan menimbulkan pemberontakan dan perasaan tak percaya diri berlebihan. Mereka akan cenderung menarik diri dari komunitas dan tak berani menghadapi kehidupan yang sebenarnya. Maka ini akan menimbulkan kesulitan juga pada masa depannya.

 

Membebaskan mereka juga bukan keputusan yang bijak. Mereka masih labil dengan dominasi nafsu dan pencarian jati diri. Maka yang bisa dilakukan orang tua adalah dengan menarik ulur jika terdapat persoalan di dalamnya. Orang tua harus mampu memberikan ruang kebebasan sesuai syariah dan mengekang pada hal yang melanggar syariah atau ada tanda-tanda pelanggaran tersebut.

 

Sifat ngeyel mereka sebenarnya adalah modal berpikir kritis yang harus kita arahkan sesuai dengan Islam. Jangan fokus pada kesalahan atau akibat yang ditimbukan perilaku mereka atau keputusan-keputusannya yang kita anggap salah dan bertentangan dengan syariah. Misalnya ketika anak-anak memprotes mengapa harus berjilbab, mengapa tidak boleh pacaran, mengapa harus ngaji Islam, dan sebagainya. Tak perlu fokus pada keributan berkaitan dengan masalah ini tetapi mari kita fokuskan energi pada kemampuan akal dan nafsiyahnya.

 

Dalam berbagai kesempatan orang tua bisa membuka ruang komunikasi dengan berdiskusi tentang siapa yang penciptakannya dan bagaimana seharusnya kita bersikap untuk menghargai seluruh penciptaan-Nya. Kata menghargai adaah senjata ampuh bagi mereka yang sedang menginginkan eksistensi di kelompoknya. Jika ingin orang menghargai dirinya, maka dia harus menghargai orang lain. Nah bagaimana kita mau dihargai di depan Allah maka kita juga menghargai Allah dengan bersukur atas segala ciptaan-Nya. Dan bentuk sukur kita adalah dengan mentaati seluruh aturan-Nya. Lebih dari itu hubungan kita dengan Allah tak sekadar hubungan saling menghargai, tetapi ada ranah ketundukan totalitas sebagai bentuk seorang hamba dan pencipta. Asah selalu akalnya untuk memikirkan penciptaan-Nya, mengetahui tanda-tanda kebesaran-Nya dan konsekuensi yang harus kita hadapi dalam kehidupan ini.

 

Orang tua juga bisa menyentuh nafsiyahnya. Bagaimana seharusnya si anak memenuhi kebutuhan jasmani dan nalurinya, semua harus terikat dengan aturan-Nya. Saat dia ingin memutuskan dan bertingkah laku, harus diingat apakah ini diperbolehkan atau tidak oleh Allah. Apakah Allah rida atau tidak. Dia harus kita dorong untuk mengikatkan pemikirannya dengan perilakunya. Dia harus kita sadarkan atas konsekuensi kehidupan di masa mendatang, kehiduan akhirat yang kekal.

 

Dengan seringnya komunikasi dan kualitas hubungan orang tua dan anak yang selalu kita bangun harmonis, semoga mampu mengendalikan nafsunya untuk menuruti seluruh keinginnannya tanpa mau tahu aturan Allah atasnya. Orang tua juga jangan lupa untuk senantiasa mendokan anak-anak kita karena yang Maha membolak-balikkan hati hanya Allah saja.

 

Jika seluruh ikhtiar sudah kita lakukan, tetapi anak tetap ngeyel dan tak mau mendengarkan, maka cara pamungkas bisa kita lakukan. Hujamkan kata-kata yang semoga bisa menembus hatinya seperti, “Kak, ibu dan bapak telah berusaha menyampaikan hukum-hukum Allah kepadamu. Jika engkau belum bisa menerimanya kami hanya bisa berdoa agar Allah melapangkan dada dan pemikiranmu untuk taat kepada-Nya. Kami hanya menyampaikan, karena kakak sudah baligh maka kakaklah yang memutuskan dan menanggung sendiri konsekuensi dari setiap keputusan kakak. Pesan kami, tolong jangan tuntut kami dihadapan Allah kelak. Sungguh kami tidak akan sanggup berhadapan denganmu di pengadian Allah kelak.”

 

Semoga ada kalimat-kalimat tulus kita yang menghujam hatinya dan mengembalikan mereka dalam dekap ketaaatan pada-Nya. Wallahu ‘alam bishshawab.

Please follow and like us:

Tentang Penulis