Marak KDRT, Haruskah Takut Menikah?
Oleh Ummu Zhafran,
Pegiat Literasi
LenSa MediaNews__ Mencuat kabar memilukan dari dunia maya. Salah seorang selebgram yang juga mantan atlet anggar nasional mengirimkan video KDRT di akun media sosialnya. Dalam tayangan singkat itu tampak pihak suami melakukan tindak kekerasan yang sukar dibayangkan bisa sebrutal itu. Apalagi dalam pengakuannya sendiri setelah ditahan aparat, pelaku sudah berkali-kali berbuat hal serupa selama lima tahun usia pernikahan. Sungguh biadab. Terbongkarnya kasus kekerasan yang menimpa saudari muslimah kita di atas kontan menuai dukungan dan simpati. Hingga dalam waktu singkat menurut info terakhir, pelaku bisa ditahan dan dijerat pasal KDRT. (cnnindonesia, 15-8-2024).
Sudah selayaknya semua wanita yang mengalami hal tersebut speak-up alias buka suara, bicara selantangnya atas penganiayaan yang dialami. Sayangnya banyak yang rancu antara mengungkap kejahatan dengan menutupi aib keluarga. Mengutip perkataan Ustaz Fatih Karim, cendekiawan muslim yang juga guru dari Ustaz Felix Siauw di kanal media sosialnya. Bahwasanya perbuatan jahat memukuli istri dan anak bukanlah aib yang harus dilindungi. Karena wajibnya ketaatan istri pada suami bukan dengan mendiamkan kemungkaran. Sebaliknya, kepemimpinan suami atas istri yang ditetapkan syariat bukan dengan berbuat kezaliman.
Di sisi lain ada hal yang perlu diwaspadai dari soal KDRT ini. Yaitu kecenderungan generasi muda untuk takut menikah. Lebih berbahaya lagi bila karena ketakutan tersebut lalu memilih bergaul bebas tanpa ikatan alias zina. Naudzubillah. Kiranya tak berlebihan kekawatiran di atas sebab di alam sekuler yang berlaku saat ini, tak hanya di dalam negeri tapi juga di dunia, sangat memuja gaya hidup bebas tanpa ikatan. Lembaga pernikahan dipandang bagai momok yang merepotkan. Komitmen antara pasangan suami dan istri dinilai salah satu bentuk pengekangan. Mau bagaimana lagi, itulah yang terjadi ketika aturan agama tak diperkenankan mengatur kehidupan sehari-hari kecuali sebatas perkara ritual peribadatan semata.
Hanya saja, kondisi di atas tak seharusnya diadopsi juga oleh umat muslim. Karena Islam tak mengenal sekularisme seperti yang berlaku saat ini. Islam agama yang tidak hanya mengatur masalah ritual peribadatan, melainkan juga sosial kemasyarakatan. Tercakup di dalamnya syariat tentang hukum dan peradilan, ekonomi, pendidikan, kesehatan bahkan pemerintahan sekali pun. Mengatur seluruhnya, tanpa kecuali. Firman Allah SWT,
“Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridai Islam sebagai agama bagimu …” (QS Al-Maaidah: 3)
Imam Ibnu Katsir menjelaskan terkait ayat ini, bahwa Islam merupakan nikmat Allah yang paling besar kepada umat muslim, karena Allah telah menyempurnakan bagi mereka agama mereka; mereka tidak memerlukan lagi agama yang lain, tidak pula memerlukan nabi lain selain Baginda Nabi Muhammad saw. Tiada halal selain apa yang dihalalkannya, tiada haram kecuali apa yang diharamkannya dan tiada agama kecuali apa yang disyariatkannya. (Tafsir Ibnu Katsir)
Maka termasuk dalam hal pernikahan, cukuplah dengan meneladani Rasulullah, keluarga Beliau hingga para sahabat yang mulia.
“Nikah itu sunnahku, barang siapa yang tidak suka, bukan golonganku.”(HR Ibnu Majah)
Pada kesempatan lain Rasulullah saw. juga pernah bersabda,
“Wahai generasi muda ! Bila di antaramu mampu menikah hendaklah ia menikah, sebab mata akan lebih terjaga, kemaluan lebih terpelihara.” (HR Bukhari dan Muslim)
Maka menikah jadi satu-satunya jalan yang dihalalkan guna memenuhi kebutuhan naluri seksual yang sejatinya bertujuan untuk melestarikan jenis manusia. Karenanya, pernikahan idealnya adalah sarana meraih ketenangan bukan ketegangan, kebahagiaan bukannya penderitaan. Mengikuti sunnah Nabi, artinya dimulai dari memilih pasangan kemudian berlanjut ke tahap setiap anggota keluarga akan berlomba meraih ketaatan kepada Allah dengan mengerjakan syariat dan meninggalkan maksiat. Memukul, menendang, menjambak hingga berkata kasar tentu tak ada dalam kamus pernikahan seorang muslim dan Muslimah.
“Yang disebut dengan muslim sejati adalah orang yang selamat orang muslim lainnya dari lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah adalah orang yang berhijrah dari perkara yang dilarang oleh Allah .” (HR Bukhari dan Muslim)
Hanya saja untuk sampai pada pemahaman di atas tentu ada syaratnya. Yaitu kembali mengkaji syariat Islam secara mendalam. Tak cukup sampai di situ, negara seharusnya juga hadir menjamin diterapkannya sistem pendidikan dengan kurikulum berbasis akidah Islam dalam bingkai penerapan syariah secara kafah. Hanya dengan itu, kehidupan individu, keluarga dan masyarakat hingga negara akan saling menjaga, terlindungi dari bencana dan maksiat, dan membawa keberkahan bagi seluruh alam tanpa kecuali. Masih takut menikah? Jangan ya Dek ya…Wallahu ‘alam.