Peningkatan Penerimaan Pajak Mendongkrak Kesejahteraan Rakyat, Benarkah?

Oleh: Ummu Haidar

LenSa Media News _ Opini_ Baru-baru ini Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memamerkan kinerja moncer jajarannya di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan. Pasalnya, angka penerimaan pajak terus meningkat signifikan sejak 1983 yang hanya Rp. 13 triliun. Hal ini ia sampaikan dalam rangka memperingati Hari Pajak Nasional, 14 Juli. Mulanya, wanita yang akrab disapa Ani itu mengatakan pajak adalah tulang punggung sekaligus instrumen yang penting bagi sebuah bangsa dan negara untuk mencapai cita-citanya (Cnnindonesia.com; 14/07/2024).

Menkeu merinci, misalnya pada tahun 1983 penerimaan pajak di Indonesia masih Rp. 13 triliun. Kemudian memasuki era reformasi tahun 1999 penerimaan pajak menjadi Rp400 triliun. Bahkan, untuk tahun 2024 penerimaan pajak ditargetkan sebesar Rp1.988,9 triliun.(Liputan6.com,14/07/2024)
Ilusi Pajak Mendongkrak Kesejahteraan Rakyat.

Berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata ara Perpajakan (KUP), pajak adalah konstribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Dari pengertian ini, dapat kita simpulkan bahwa pajak adalah suatu iuran wajib yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang.
Sementara, dikutip dari Modul Pembelajaran Hukum Pajak karya Safier Ramdani, S.E., M.M, definisi pajak adalah suatu kewajiban yang dibayar oleh masyarakat untuk memenuhi kebutuhan negara, agar tercipta kesejahteraan umum.

Tidak mengherankan jika negara atas nama mendongkrak kesejahteraan, menjadikan pajak sebagai sumber pembiayaan roda pemerintahan dan pembangunan. Bahkan berbagai upaya serius dilakukan, agar sumber pemasukan keuangan negara terus mengalami peningkatan. Baik dari sisi jenis maupun besar pungutan. Namun faktanya, pemungutan pajak lebih membuat mudharat pada rakyat banyak. Kesejahteraan yang digaungkan hanya ilusi yang tidak pernah menjadi kenyataan. Peningkatan penerimaan pajak yang dibanggakan Menkeu sejatinya justru menunjukkan besarnya beban pungutan atas rakyat. Bentuk kedzaliman dan pengabaian terhadap kepentingannya. Pajak tak ubahnya bentuk lain dari upeti. Bukti ketundukan rakyat kepada penguasa negeri. Dimana rakyat tak memiliki celah tuk mengelak dan berlari. Miris, kesejahteraan yang diharapkan. Namun kesengsaraan yang didapatkan.

Narasi Sesat Sistem Kapitalisme
Memalak rakyat dengan berbagai kebijakan pajak merupakan ciri penerapan sistem kapitalis-sekularis. Sistem ini tak memberi ruang bagi agama untuk ikut mengelola kehidupan bernegara. Hingga meniscayakan keberadaan penguasa yang berperan sebagai regulator dan fasilitator dalam menentukan tata kelola urusan negara. Hubungan mereka dengan rakyat transaksional belaka. Rakyat hanya bumper kepentingan yang tak kunjung mengecap kesejahteraannya.

Islam Menjamin Kesejahteraan
Islam dengan aturannya yang paripurna mengatur yang masuk menjadi kas negara bukanlah hasil bisnis antara penguasa dan rakyatnya, seperti halnya pajak. Pemasukan kas negara diperoleh dari harta zakat, ghanimah, fai, kharaj, usyr, jizyah, khumus, rikaz, dan terakhir hasil tambang yang kesemuanya akan mengisi baitul mal (kas negara).

Adapun terkait pengambilan pajak (dharibah) dalam sistem ekonomi Islam, bukanlah harta yang diwajibkan oleh Allah SWT. atas seluruh kaum muslim dalam rangka memenuhi kebutuhan mereka yang dikelola oleh negara.
Melainkan pemungutan pajak (dharibah) hanya diminta kepada kaum muslim yang memiliki kelebihan dalam sisi harta.. Sementara untuk kaum non muslim baik yang memiliki harta ataupun tidak, tidak dipungut pajak.

Disisi lain, pemungutan pajak diterapkan apabila ada kepentingan umum yang mendesak dan baitul mal (kas negara) tidak mampu untuk menutupinya. Hal Ini menunjukkan bahwa pajak (dharibah) dalam sistem ekonomi Islam bersifat kondisional adanya.

Demikianlah sistem ekonomi Islam mengatur keuangan negara untuk kepentingan umatnya secara menyeluruh dan menyejahterakan. Maka kembali kepada aturan Islam dalam mengelola kehidupan bernegara adalah darurat untuk diwujudkan keberadaannya.

Wallahu ‘alam bishawwab

(LM/SN)

Please follow and like us:

Tentang Penulis