Pentingnya Standar Nilai dalam Keluarga
Oleh: Ummu Fifa
(MIMم_Muslimah Indramayu Menulis)
LenSaMediaNews.com__Ibarat sumber mata air, keluarga adalah sumber kejernihan atau kekeruhan alam berpikir sebuah generasi. Di sanalah awal mula seseorang mendapatkan contoh perilaku, baik ucapan ataupun perbuatan. Dalam kitab ‘Nidzomul Islam‘ karya Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani, dinyatakan bahwa perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh pemahamannya.
Jika seseorang menganggap sebuah fakta itu baik dan dapat mengantarkan sesuatu yang bermanfaat baginya, niscaya fakta tersebut akan dia kejar sampai dapat, bahkan dengan segala pengorbanan. Namun sebaliknya, seseorang akan meninggalkan fakta yang dia anggap buruk dan tidak mengantarkan manfaat. Bahkan dia akan berusaha menghalangi orang lain untuk meraih fakta yang dianggap buruk tersebut.
Pada poin inilah titik krusialnya. Standar baik dan buruk seperti apa, yang harus dipakai dalam mendidik generasi, agar dia bisa mencapai kesuksesan seraya tidak menimbulkan kerusakan bagi lingkungan dan sesamanya. Mungkinkan standar tersebut bersumber dari akal atau prasangka manusia?
Sebuah ungkapan peribahasa mengatakan, “rambut boleh sama hitam, namun hati masing-masing.” Ungkapan tersebut menyiratkan bahwa setiap manusia memiliki kemauan dan kehendak yang berbeda-beda dan tidak mungkin akan menyatukan seluruh manusia mencapai kemaslahatan yang sama.
Dalam Q.S. Al-Baqarah ayat 182, Allah berfirman: “Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur.” Di ayat lain, ditegaskan: “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dia mendapat (pahala) dari (kebajikan) yang dikerjakannya dan dia mendapat (siksa) dari (kejahatan) yang diperbuatnya.” (Q.S. Al-Baqarah: 286)
Sepatutnya dengan hanya men-tadaburi dua ayat tersebut, seorang muslim merasa yakin bahwa Allah telah menetapkan jalan yang baik bagi manusia untuk sampai pada kesuksesan yang hakiki. Kesuksesan yang tidak hanya dirasakan di dunia bahkan akan kekal dirasakan di akhirat. Keyakinan inilah yang akan mengikat pemahaman seseorang untuk senantiasa menstandarkan kemauan dan kehendak mereka dengan satu standar baik dan buruk yang bersumber dari Zat selain manusia, Dialah Allah Al-Khaliq wal Muddabir.
Standar baik dan buruk akan berkonsekuensi mendapat balasan surga atau neraka. Berbekal konsep hidup tersebut, seorang muslim seharusnya menyiapkan anak-anak mereka untuk loyal dan setia terhadap syariat. Bukan aturan/standar nilai lain. Mengenalkan mereka hakikat Allah, dunia beserta misi hidup di dalamnya, juga akhirat. Bahwa dunia, cukuplah dalam genggaman jangan sampai meraja di dalam hati. Prinsip wara’ (hati-hati), khouf (takut) dan roja’ (berharap) kepada Allah turut ditanamkan. Sehingga nampak jelas acuan masa depannya adalah mardhatillah (meraih rida dari Allah), bukan rasa haus pada dunia dan pernak perniknya.
Sepenggal kisah yang syarat makna tentang seorang Umar Bin Khattab r.a. yang layak dijadikan pelajaran. Dikisahkan ketika Umar berada di penghujung ajalnya. Ia menolak dengan tegas ketika anaknya dicalonkan menjadi penguasa menggantikan dirinya. Menurut Umar, latar belakang anaknya sebagai anak sang penguasa membuka peluang untuk mendapatkan sesuatu yang tidak bisa didapatkan orang lain. Meski diusulkan berulang kali, Umar tidak memasukkan nama putranya ke dalam daftar enam sahabat calon penguasa.
Menurut Umar cukup satu orang saja dari keluarga Umar yang akan menghadapi hisab karena urusan kekuasaan, yaitu Umar. Prinsip Umar tersebut tidak lain karena dilatarbelakangi oleh pemahamannya tentang makna kekuasaan. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah Saw. bersabda: “Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin.”
Demikianlah sikap kehati-hatian seorang Umar, tidak menginginkan anaknya terbebani oleh beratnya amanah kepemimpinan. Walaupun Umar sangat mengetahui kesalihan putranya. Namun kemungkinan untuk tidak amanah itu tetap ada pada setiap manusia, sehingga hal tersebut akan menjerumuskannya ke dalam api neraka.
Pada saat itu Umar memimpin dengan Al-Quran dalam sistem Islam, namun sedemikian besar keresahannya. Apalagi mengingat saat ini sistem yang berlaku bertopang pada kapitalisme. Di mana telah sangat nyata membawa kehidupan menjadi rusak, serta jauh dari standar baik dan buruk dari Allah.
Sepatutnya para penguasa perlu merenungkan hal ini secara mendalam. Alangkah baiknya, jika mereka mencukupkan pada dirinya. Bukan malah terkesan ‘memaksakan’ anak keturunannya mengambil alih risiko dalam meneruskan sistem yang rusak ini. Jangan sampai nanti terjebak dan berpeluang menjadi pemimpin yang tidak amanah, dalam pandangan Islam.
Wallahu a’lam bi ash-shawwab. [LM/Ss]