Memaknai Produktivitas Sesuai FitrahNya

Oleh: Ummu Rifazi, M.Si

LenSa Media News _ Opini_ Baru-baru ini tersebar dalam dunia pemberitaan mengenai pengentasan kemiskinan yang berkaitan dengan kaum perempuan. Sebut saja dalam acara daring peluncuran Pelayanan KB Serentak sejuta akseptor di Jakarta, Selasa 14 Mei 2024, Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) Hasto Wardoyo mengatakan bahwa daerah yang miskin ekstrem selalu diwarnai janda-janda tua dan fakir miskin. Tuturnya lebih lanjut, bahwa kemiskinan esktrem itu datang dari janda-janda tidak produktif, sehingga pemberdayaan perempuan menjadi visi ke depan agar perempuan-perempuan yang masuk ke aging population (populasi menua) itu produktif (news. Republika.co.id, 14/05/2024).

Perempuan Produktif : Pengentas Kemiskinan?

Dalam Sidang Commission on the Status of Women (CSW) ke-68 yang berlangsung pada tanggal 11-22 Maret 2024 di PBB, Deputi Bidang Kesetaraan Gender KemenPPPA Lenny N. Rosalin selaku ketua delegasi Indonesia menyampaikan bahwa salah satu poin penting dalam upaya pengentasan kemiskinan agar lebih efektif adalah dengan terus-menerus mendorong pemberdayaan perempuan sebagai pusat agenda pemberantasan kemiskinan (Antaranews.com, 16 Maret 2024).

Karena itulah keterlibatan perempuan dalam berbagai sektor di negeri ini, terutama sebagai pelaku ekonomi, menjadi tolok ukur produktivitas perempuan dan keberhasilan dalam mengentaskan kemiskinan. Para perempuan selalu didorong untuk melakukan aktivitas yang meningkatkan derasnya aliran uang, sebagaimana yang dilakukan oleh para lelaki.

Tentu saja paradigma tersebut bertentangan dengan fitrah Allah Ta’ala. Semestinya para lelaki lah yang bertugas menafkahi keluarganya, sementara perempuan adalah al umm wa rabbatul bayt yakni pengatur rumah tangga dan pengurus keluarga serta anak-anaknya untuk menjadi generasi peradaban penjaga Islam.

Paradigma perempuan bekerja adalah perempuan produktif’ akhirnya menjadi bumerang yang mengakibatkan kesengsaraan dan penderitaan. Sudah tidak terhitung lagi banyaknya pemberitaan perempuan bekerja yang mengalami kemelut rumah tangga. Deretan kasus seperti keluarga yang berantakan, stres karena beban berat pekerjaan, anak yang tidak terurus dengan baik, emosi yang labil, depresi, hingga kasus bunuh diri yang jika dibiarkan akan menghancurkan negara dan bangsa ini.

Jadi sesungguhnya memberdayakan perempuan apalagi yang sudah tua merupakan suatu kezaliman!

 

Menjaga Jalur Nafkah yang Shahih

Indonesia adalah negara yang dikaruniai Allah Ta’ala dengan kekayaan alam yang melimpah ruah. Seharusnya kemiskinan ekstrem mustahil terjadi seperti sekarang ini, apalagi lantas mengkambinghitamkan para perempuan lansia sebagai janda-janda tua tidak produktif penyebab kemiskinan.

Penerapan kapitalisme lah yang menjadikan negara ini justru menjadi regulator yang memudahkan bisnis para kapitalis makin menggurita. Sementara rakyat semakin tercekik. Sehingga solusi hakiki nya adalah menerapkan secara menyeluruh sistem pengaturan kehidupan yang menjamin pendistribusian kekayaan secara adil dan merata. Salah satunya dengan sistem kewajiban pemberi nafkah yang baik, yaitu sistem Islam.

Islam mewajibkan suami menafkahi istrinya sebagaimana firman Allah dalam QS. An Nisa ayat: 34. Penjelasan sistem kewajiban nafkah ini dapat ditemukan di banyak literatur Islam, salah satunya di dalam Kitab Siasah Al-iqtisadiyah Al-Mutsla (Politik Ekonomi Islam) yang ditulis oleh Abdurrahman Al Maliki. Penjelasan dalam kitab tersebut bahwa kewajiban bekerja hanya berlaku bagi laki laki untuk memenuhi kebutuhan primer yang meliputi sandang, pangan dan papan. Sementara perempuan berhak mendapatkan pemberian nafkah dalam kondisi apapun, baik ketika kondisinya miskin, maupun ketika dia mampu bekerja ataupun ketika dia tidak mampu bekerja.

Nafkah orang-orang yang sudah tua, keluarga dan kerabat juga terjamin sebagaimana firman Allah dalam QS. Luqman ayat: 14-15 dan QS. Al Baqarah ayat: 233.

Mekanisme yang sempurna dalam Islam ini hanya dapat dijalankan dengan baik, ketika garis nasab (keturunan) sangat dijaga. Oleh karenanya perzinaan dilarang keras (haram) dalam Islam, karena akan mengganggu penjaminan proses penafkahan.

Dan ketika pun mekanisme pemberian nafkah dengan jalur ke-nasab-an tidak bisa berjalan karena tidak ada seorang pun yang dia bisa memenuhi kewajiban tersebut. Misalnya ada janda yang tidak mempunyai kerabat, tidak punya anak yang bisa menafkahi, tidak ada kerabat dekat yang mampu menafkahi, maka Islam melimpahkan kewajiban nafkah tersebut kepada Baitul Maal yang memiliki pemasukan besar bersumber dari kepemilikan umum, kepemilikan negara dan harta zakat mal. Maasyaa Allah, allahummanshuril bil Islam In syaa Allah.

Kesempurnaan pengaturan berdasarkan syariat islam ini telah dipraktikkan dalam kehidupan bernegara yang dibangun Rasulullah shalallahu alaihi wassalam, yang dilanjutkan oleh para khalifah setelahnya. Sistem kehidupan ini terbukti sukses mengangkat masyarakat dari kemiskinan. Sehingga sepanjang tercatat dalam sejarah, problem kemiskinan ekstrem tidak pernah ditemui dalam peradaban Islam.

Wallahu alam bisshowaawab. 

(LM/SN)

Please follow and like us:

Tentang Penulis