Negara Menghilang, Keselamatan Anak dalam Ancaman

 

Oleh : Ummu Aman
(Komunitas Penulis Setajam Pena)

Pelaku kasus pencabulan siswi sekolah dasar (SD) berusia 13 tahun di Baubau, Buton, Sulawesi Tenggara (Sultra) rata-rata adalah anak di bawah umur. Dari 26 pelaku itu, mayoritas masih berstatus pelajar. Namun, Kapolres Baubau, AKBP Bungin Masokan Misalayuk masih belum mau mengungkapkan identitas para tersangka karena mayoritas anak di bawah umur (CNNIndonesia, 23/6/2024).

Kasus di atas bukanlah pertama kali, tapi kekerasan terhadap anak sudah sering terjadi dan bahkan berulang. Ini sangat memprihatikan, korban yang masih di bawah umur dan belum bisa memahami akibat dari kejadian yang menimpanya. Padahal kekerasan yang menimpa mereka sangat besar bahayanya dan akan menimbulkan dampak setelahnya.

 

Saat ini, banyak anak-anak yang menjadi korban kekerasan di lingkungan masyarakat, sekolah, bahkan keluarga. Pelakunya bisa orang dewasa termasuk orang tua dan guru, teman sebaya, bahkan aparat. Seharusnya anak-anak terlindung dan terjaga pada lingkungan tersebut. Namun, faktanya dari lingkungan dan orang terdekat yang seharusnya memberikan perlindungan justru yang mengancam dan merusak mereka.

 

Fakta menunjukkan bahwa korban dan pelaku kekersan adalah para pelajar atau kaum terdidik. Hal ini perlu dipertanyakan esensi dari aktivitas pendidikan yang telah dilaksanakan. Pendidikan seharusnya membentuk pribadi mulia dengan perilaku yang yang mencerminkan ketinggian akhlak. Aktifitas pendidikan adalah aktifitas mengasah akal, mempertajam perasaan, dan penanaman karakter yang berlandaskan keimanan. Seharusnya dari sini tidak terbentuk pribadi yang merusak dan pelaku kekerasan. Hari ini banyak pelaku kekerasan yang merupakan kaum terdidik. Ini menjadi bukti bahwa sistem Pendidikan gagal melahirkan individu yang berakhlak mulia.

Kalau ditelisik lebih lanjut, negara sejatinya memberi peran dalam kasus ini. Negara menerapkan aturan yang memberi celah lebar bagi terjadinya kekerasan terhadap anak. Berbagai regulasi yang dikeluarkan oleh negara tidak memberikan jaminan keamanan dan perlindungan terhadap anak. Pengelolan sistem kehidupan baik pendidikan, ekonomi , pergaulan, komunikasi dan sosial kemasyarakatan semua tidak menunjukkan kehadiran negara untuk sungguh-sungguh memelihara kesejahteraan dan keamanan rakyat.

Semua sektor kehidupan masyarakat diswastanisasi sehingga beban rakyat sangat berat. Hal ini akan memaksa rakyat untuk tidak bisa menjalankan fungsi dengan baik yang berujung kerusakan akhlak yang menjadi biang dari berbagai kekerasan yang menimpa anak. Bahkan sistem sanksi pun tak mampu mencegahnya. Hal ini karena sanksi yang diberikan tidak mendidik dan menjerakan.

Keberadaan kementerian khusus pun dengan segala programnya, nyatanya belum mampu mewujudkan perlindungan anak. Semua karena dilandaskan pada paradigma sekuler kapitalisme, sehingga memandang anak pun dengan pandangan tersebut. Seharusnya segala kehidupan manusia tidak boleh terlepas dari aturan agama, senantiasa terpaut dengan akidah dan bersandar pada keimanan.

 

Khilafah punya sistem perlindungan anak dengan tegaknya 3 pilar, adanya keimanan dan ketakwaan individu, kontrol masyarakat dengan amar makruf nahi munkar dan penerapan aturan oleh negara. Ketiga pilar itu akan terjaga dan bisa berfungsi dengan baik jika seluruh sistem kehidupan lahir dari aturan Allah yang dilaksanakan dengan dasar keimanan. Semua pihak berkontribusi penuh dan penuh kesadaran akan tanggung jawab dihadapan Allah Swt.

Dengan penerapan semua aturan Islam dalam semua bidang kehidupan, perlindungan terhadap anak akan dapat diwujudkan.

Jika mereka mendustakanmu (Nabi Muhammad), katakanlah, “Bagiku perbuatanku dan bagimu perbuatanmu. Kamu berlepas diri dari apa yang aku perbuat dan aku pun berlepas diri dari apa yang kamu perbuat.”(TQS. Yunus: 41)
Wallahu Alam bishowab.

[LM, Hw]

Please follow and like us:

Tentang Penulis