Jalur Zonasi Kian Tak Pasti

Oleh: Utami Nurhayati
(Guru, Bantul Yogyakarta)
Lensamedianews.com, Opini – Tahun ajaran baru menjadi momen penting bagi banyak kalangan. Mulai dari siswa, wali siswa, hingga pemangku kebijakan. Para siswa galau menentukan sekolah barunya, sedangkan para wali siswa risau dengan biayanya. Pemerintah pun berupaya memberikan solusi, yaitu sistem Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) jalur zonasi. Namun hal itu malah menjadi masalah baru yang lebih ngeri.
PPDB jalur zonasi menjadi ladang kecurangan baru bagi rakyat maupun pemilik kekuasaan. Praktek jual beli kursi, menumpang kartu keluarga sana-sini, manipulasi jalur zonasi, hingga pemalsuan keterangan keluarga miskin setiap tahun selalu terjadi.
Sejatinya jalur zonasi hanya satu dari sekian banyak cara yang dipandang mampu meningkatkan kualitas regulasi pendidikan. Dengan memusatkan aktivitas pendidikan di luasan wilayah tertentu, sehingga dianggap taraf pendidikan daerah dapat terbantu. Para siswa dan walinya dapat menjangkau sekolah dengan mudah, berdampak pada akomodasi transportasi yang lebih murah. Para guru dapat berinteraksi lebih banyak dengan siswa dan keluarganya, karena di luar sekolah mereka juga bertetangga.
Tapi faktanya berbanding terbalik dengan harapannya. Jika dikaji lebih lanjut, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab gagalnya sistem PPDB zonasi ini. Pertama, kuantitas. Misalkan standar minimal tiap wilayah adalah tersedianya 1 bangunan sekolah dengan 10 guru, untuk menampung 100 siswa. Jadi ketika ada 100 wilayah yang harus dipenuhi, maka harus menyiapkan 100 kali lipat lebih banyak dari jumlah minimal yang ditetapkan.
Kedua, kualitas. Andaikan seluruh wilayah sudah terpenuhi jumlah minimal ketersediaan sekolah dan guru untuk tiap wilayah, apakah kualitasnya sama? Karena faktanya hari ini, siswa dengan prestasi rendah hanya bisa masuk ke sekolah dengan standar pendidikan rendah. Begitu sebaliknya. Alhasil kualitas lulusannya pun bagaikan langit dan bumi.
Ketiga, tujuan. Kuantitas dan kualitas ini akan sia-sia ketika tujuannya salah. Jika tujuan pendidikan hanya agar manusia dapat bekerja, maka apa bedanya dengan robot? Jika tujuan pendidikan hanya agar manusia dapat mencari makan, maka apa bedanya dengan hewan? Penting kita memahami bahwa manusia diciptakan pasti mempunyai tujuan yang lebih penting. Sebagaimana pisau tercipta ditujukan untuk memotong dan palu tercipta ditujukan untuk memukul, sesuai dari keinginan penciptanya.

Begitu pun manusia, tercipta ditujukan sesuai dengan keinginan Penciptanya, yaitu mengikuti segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Ketika tujuan itu telah dipahami, maka pendidikan sejatinya dapat berlangsung baik tanpa kecurangan dan kemaksiatan. Agar tercapailah tujuan mulia yang diharapkan. [LM/Ah]

Please follow and like us:

Tentang Penulis