Tapera, Tipu-Tipu Kepemilikan Rumah Bagi Rakyat

Oleh : Asha Tridayana, S.T.

 

Lensa Media News – Belum lama ini, Presiden Jokowi resmi menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2024 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera). Nantinya gaji karyawan akan dipotong sebesar 3% dengan rincian 2,5% ditanggung pekerja dan 0,5% ditanggung perusahaan. Kemudian iuran tersebut akan dikelola oleh BP Tapera yang di dalamnya terdapat anggota komite, jajaran komisioner dan deputi komisioner. Mereka yang tergabung dalam BP Tapera akan mendapatkan sejumlah honor atau insentif yang diatur oleh Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 9 Tahun 2023 tentang Honorarium, Insentif, dan Manfaat Tambahan lainnya untuk Komite Tapera. Besarannya pun hingga puluhan juta rupiah per bulan. (https://ekbis.sindonews.com 30/05/24)

Penolakan keras pun muncul dari berbagai pihak terutama pekerja dan perusahaan bersangkutan. Menurut Presiden Partai Buruh, Said Iqbal adanya Tapera ini sangat tidak masuk akal karena tidak ada kepastian dalam jaminan mendapatkan hunian setelah bergabung menjadi peserta Tapera. Apalagi secara hitungan, nilai 3% dari gaji pekerja saat ini yang terkumpul selama sepuluh atau dua puluh tahun kedepan tidak mencukupi untuk mendapatkan rumah. Iuran Tapera hanya menambah deretan potongan gaji sehingga beban hidup pekerja semakin berat. Apalagi terjadi ketidakadilan sebab pemerintah sama sekali tidak mengeluarkan dana hanya sebagai pengumpul. Sehingga program Tapera terkesan dipaksakan dan patut diwaspadai kemungkinan adanya tindak korupsi seperti pada Asabri dan Taspen. (https://ekbis.sindonews.com 29/05/24)

Dapat dikatakan, setiap orang memimpikan memiliki rumah sendiri meskipun sederhana. Namun, di tengah kondisi perekonomian sekarang, rumah kecil pun harganya selangit. Tidak banyak yang mampu menjangkaunya, kalaupun dipaksakan ujung-ujungnya melalui utang riba. Padahal memfasilitasi kepemilikan rumah mestinya menjadi tanggung jawab negara dengan mekanisme yang tentunya tidak memberatkan. Realitanya, negara lagi-lagi hanya sebagai regulator yang akhirnya berlepas tangan pada nasib rakyat.

Terbukti adanya program Tapera, rakyat kembali dipunguti iuran dengan memotong gaji yang jumlahnya tidak seberapa. Sementara negara hanya sebagai pengumpul dan pengelolanya justru mendapatkan gaji dengan nominal fantastis. Tapera telah menunjukkan bahwa negara tidak memiliki politik penyediaan rumah bagi rakyat. Bahkan menjadi bentuk kebijakan zalim karena pemerintah memberatkan rakyat dengan menambah jumlah potongan dan pungutan selain pajak, BPJS dan lainnya.

Disamping itu, program Tapera bukanlah solusi mendapatkan kepemilikan rumah. Secara hitungan pun tidak masuk akal lebih-lebih rakyat hanya dipaksa mengikuti kebijakan pemerintah yang sebetulnya hanya kemustahilan. Sehingga seperti yang dikhawatirkan oleh masyarakat, program Tapera hanyalah akal-akalan pemerintah untuk menggali keuntungan bagi pihak tertentu. Sangat miris, mengetahui fakta pemerintah malah menjadikan kesulitan yang dialami rakyat sebagai komoditas yang bisa dimanfaatkan.

Keadaan semacam ini tidak terlepas dari sistem yang diterapkan oleh negara yakni sistem kapitalisme. Sistem yang mengukur segala sesuatu dengan materi sehingga berbagai cara pun dapat dilakukan sekalipun menjatuhkan atau merugikan pihak lain. Dalam hal ini negara yang menganggap segala interaksinya dengan rakyat sebagai jual beli. Sehingga rakyat selalu dipungut biaya bahkan untuk mendapatkan rumah. Parahnya lagi rakyat dijebak dengan mekanisme ribawi yang tentunya sangat menyengsarakan. Seolah memberi harapan dan kemudahan tetapi faktanya negara semakin menyulitkan kehidupan rakyat.

Oleh karena itu, rakyat harus segera menyadari bahwa akar masalah dari kekeliruan yang dilakukan negara bersumber dari sistem kufur kapitalisme. Maka cara untuk memperbaiki keadaan hanya dengan mengganti sistem tersebut dengan sistem shohih yang mampu menjamin kehidupan rakyat. Tidak lain adalah sistem Islam yang jelas bersumber dari Allah swt Sang Pencipta Maha mengetahui kebutuhan makhluk-Nya. Bukan seperti kapitalisme yang berasal dari akal manusia sehingga hanya akan menguntungkan pihak tertentu atau pembuat kebijakan.

Dalam hal kepemilikan rumah, Islam menjadikannya sebagai kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi oleh negara. Negara bertanggungjawab menyediakan atau memudahkan rakyat untuk mendapatkan rumah sebagai bentuk kepengurusan rakyat yang memang menjadi tugas negara. Lebih-lebih menjauhkan rakyat agar tidak terjerat pada praktik ribawi.

Di samping itu, Islam tidak mengatur urusan ibadah ritual kerohanian saja tetapi sebuh sistem kehidupan dengan seperangkat aturan yang syamil dan kamil. Termasuk dalam kepemilikan rumah, Islam mempunyai mekanisme yang mampu mewujudkannya. Melalui sinergi dari seluruh aspek seperti sistem ekonomi, politik, sosial, keamanan dan lain sebagainya tentu bukan hal mustahil negara mampu menjamin keberlangsungan hidup rakyat hingga memiliki hunian yang layak ditempati.

Wallahu’alam bishowab.

 

[LM/nr]

Please follow and like us:

Tentang Penulis