Ada Politik Dinasti di Balik Putusan MA

Oleh: Ummu Al-Mubarok

 

LenSa Media News _ Putusan Mahkamah Agung (MA) soal syarat usia calon kepala daerah disebut sarat kepentingan politik demi memuluskan langkah putra bungsu Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep untuk maju dalam Pilkada DKI Jakarta. Namun sejumlah partai politik menampik tudingan tersebut, seraya menegaskan putusan ini “memberikan kesempatan” kepada generasi muda untuk unjuk gigi dalam dunia politik.

Peneliti dari Pusat Riset Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Aisah Putri Budiarti mengatakan putusan MA itu membuka pintu bagi Kaesang yang baru akan berumur 30 tahun pada Desember mendatang untuk mencalonkan diri dalam pilkada tingkat provinsi.

 

Ketua Umum Partai Garuda, Ahmad Ridha Sabana, telah memasukkan permohonan hak uji materi (HUM) terhadap Peraturan KPU Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pencalonan Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan atau Wali Kota dan Wakil Wali Kota ke Mahkamah Agung (MA). Perkara dengan nomor 23 P/HUM/2024 tersebut lantas diterima MA pada 27 Mei 2024. Dua hari kemudian, yaitu pada 29 Mei 2024, Hakim Yulis, Cerah Bangun, dan Yodi Martono memutuskan untuk mengabulkan permohonan tersebut. (Tirto.id. 2/6/2024)

Dengan adanya putusan tersebut, syarat minimal usia 30 tahun untuk gubernur-wakil gubernur dan 25 tahun untuk calon bupati-wakil bupati atau calon wali kota-wakil wali kota hanya berlaku ketika mereka dilantik, bukan ketika mendaftar. Sebelum putusan MA, pasal 4 ayat (1) huruf d berbunyi: berusia paling rendah 30 (tiga puluh) tahun untuk Calon Gubernur dan Wakil Gubernur dan 25 (dua puluh lima) tahun untuk Calon Bupati dan Wakil Bupati atau Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota terhitung sejak penetapan Pasangan Calon. Setelah putusan MA, frasa “terhitung sejak penetapan Pasangan Calon” diubah menjadi “terhitung sejak pelantikan pasangan Calon terpilih”.

Praktik politik dinasti ini merupakan hal yang biasa terjadi di dalam demokrasi. Hal ini tidak terlepas dari aturan yang mewadahi demokrasi, yaitu kapitalisme sehingga praktik politik didominasi oleh tujuan meraih keuntungan materi sebesar-besarnya. Untuk mewujudkan politik dinasti, politisi akan melakukan segala cara.

Dampaknya, kekuasaan tidak lagi sesuai aturannya yaitu untuk mengurusi hajat hidup rakyat, melainkan untuk merealisasikan kepentingan pribadi dan para kroni. Kekuasaan menjadi alat penguasa untuk memperoleh keuntungan bagi dirinya dan kelompoknya. Kekuasaan ini menabrak apa saja, termasuk hukum, demi meraih tujuan tertentu.

Supremasi hukum yang seharusnya dijunjung tinggi dianggap tidak bernilai dan harus tunduk pada kepentingan dinasti. Sedihnya, politik dinasti ini tidak hanya melibatkan eksekutif dan legislatif, tetapi juga yudikatif (peradilan). Jadilah keputusan hakim tidak lagi objektif, melainkan disetir oleh kekuasaan yang sekarang ada.

Berbeda dengan sistem pemerintahan Islam. Asas kekuasaan di dalam Islam adalah akidah Islam sehingga tujuan kekuasaan adalah mengurusi urusan rakyat. Penguasa dalam pemerintahan Islam menggunakan kekuasaan untuk kemaslahatan Islam dan kaum muslim, bukan untuk kepentingan pribadi dan kroni

Selain itu dalam pemerintahan Islam ada mekanisme yang efektif untuk mewujudkan penguasa yang adil dan amanah. Syarat penguasa di dalam Islam adalah laki-laki, muslim, balig, berakal, merdeka, adil, dan mampu (memikul amanah kepemimpinan). Syarat-syarat ini akan mengeliminasi orang-orang yang tidak layak untuk memimpin, termasuk dari sisi keadilan maupun kecakapan.

Adapun proses seseorang menjadi gubernur (wali) atau bupati/wali kota (amil) adalah melalui penunjukan oleh seorang Khalifah. Khalifah berhak memilih orang yang dia anggap layak memimpin berdasarkan tujuh syarat sah tersebut. Namun, jika dalam perjalanan pemerintahan ternyata wali/amil tersebut bersikap khianat atau berbuat hal-hal yang mencederai tujuh syarat sah pengangkatannya, ia bisa langsung diberhentikan oleh Khalifah, meski dia baru menjabat satu atau dua hari. Pemecatan wali/amil tidak menunggu selesainya masa jabatan lima tahunan.

Rakyat punya peran besar untuk mengawasi dan mengoreksi para penguasa. Rakyat juga boleh menyatakan ketakridaannya terhadap penguasa yang diangkat untuk mereka. Mekanismenya bisa melalui pengaduan pada Khalifah atau Mahkamah Mazalim. Sehingga keduanya akan memutuskan perkara kezaliman yang dilakukan penguasa. Dengan demikian, supremasi hukum dijunjung tinggi. Kekuasaan akan menjelma menjadi kekuasaan yang menolong Islam dan kaum muslimin. Wallahualam bissawab

(LM/SN)

Please follow and like us:

Tentang Penulis