Harga Rumah Mahal, Imbas dari Kapitalisme
Lensa Media News, Surat Pembaca-Memiliki sebuah rumah adalah impian
sekaligus idaman setiap orang, terlebih bagi yang telah menikah. Rumah merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Konstruksi dan lingkungan rumah yang tidak memenuhi syarat rumah sehat merupakan salah satu faktor penyebab sumber penyakit dan ketidaknyamanan penghuni rumah.
Menurut UU No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Permukiman, rumah adalah bangunan yang berfungsi sebagai tempat tinggal atau hunian dan sarana pembinaan keluarga. Bank Indonesia (BI) mencatat harga properti residensial di pasar primer melanjutkan peningkatan pada kuartal I 2024. Ini tercermin dari pertumbuhan Indeks Harga Properti Residensial (IHPR) yang mencapai 1,89 persen (yoy) pada kuartal I 2024. Angka ini, lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan pada kuartal IV 2023 yang sebesar 1,74 persen.
Peningkatan IHPR tersebut didorong oleh kenaikan harga properti tipe kecil yang meningkat 2,41 persen. Capaian ini juga melanjutkan kenaikan harga pada kuartal IV 2023 yang sebesar 2,15 persen. BI mencatat perkembangan harga rumah tipe menengah dan besar pada kuartal I 2024 juga terindikasi masih meningkat meski tidak setinggi kuartal sebelumnya (CNN Indonesia, 6-05-2024).
Kenaikan harga rumah akan menyebabkan masyarakat sulit memilikinya. Apalagi di era saat ini, di mana pekerjaan sulit didapat; biaya hidup makin mahal; tanggungan pendidikan tidak karuan; hingga beban biaya kesehatan yang mahal membuat ‘punya rumah’ sebatas mimpi. Ini tersebab kesalahan dalam penerapan aturan.
Kezaliman ini berawal dari kelalaian negara yang menerapkan sistem kehidupan sekularisme. Khususnya sistem ekonomi kapitalisme dengan sistem politik demokrasi.
Negara dibenarkan dan dilegalkan berlepas tanggung jawab, dalam hal memenuhi kebutuhan hunian layak rakyat. Berupa penyerahan tanggung jawabnya kepada korporasi-operator. Sementara itu, korporasi sebagai operator, jelas orientasi utama mencari keuntungan bukan pelayanan. Ini satu hal, hal lain konsep neoliberalisme telah memandulkan kemampuan negara, terutama dana, dan lahan.
Konsep kapitalisme berupa anggaran berbasis kinerja, hanyalah memfasilitasi korporasi mengomersialkan hunian yang dibutuhkan publik. Sementara itu, liberalisasi harta milik umum, berupa berbagai barang tambang dengan jumlah berlimpah yang merupakan bahan bangunan semen, pasir, besi dan batu, demikian juga kayu/hutan tidak saja harganya melangit tetapi juga di bawah kekuasaan korporasi.
Sejarah peradaban Islam telah membuktikan bahwa negara dalam sistem Islam amat memperhatikan kebutuhan pokok rakyatnya, khususnya tempat tinggal. Sebagai bukti adalah apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. setelah beliau hijrah ke Madinah. Di sana bangkit sebuah gerakan pembangunan yang sangat luas, bahkan menjadi industri bangunan yang mendapat perhatian kaum muslim.
Apa yang dilakukan oleh Rasul Saw. tersebut membuktikan bahwa beliau sebagai kepala negara mengelola secara langsung dalam penyediaan rumah untuk rakyatnya, tanpa melalui operator sebagaimana yang terjadi pada sistem kapitalis. Pemenuhan kebutuhan pokok itu pun dipenuhi oleh negara orang perorang, bukan kebutuhan komunal.
Di dalam Islam kepala negara (khalifah) adalah orang yang bertanggung jawab atas urusan rakyatnya, sebagaimana sabda Rasul Saw.: “Imam (Khalifah) adalah pengurus dan ia bertanggung jawab atas (urusan) rakyatnya.” (HR. Al Bukhari).
Lilik
[LM, Hw]