Oleh: Anastasia, S.Pd.
Lensamedianews.com, Opini – Pada Mei 2024 dunia tengah mengalami gelombang suhu panas. Bahkan di Indonesia sendiri kita sudah merasakan teriknya matahari begitu kuat. Bukan hanya gelombang panas suhu saja, kita pun akan dihadapkan tahun politik, yaitu pemilihan kepala daerah yang sensasinya jauh lebih panas membakar pikiran dan uang.
Ongkos pilkada yang lahir di sistem demokrasi tidaklah murah, butuh modal yang kuat supaya mampu melakukan kampanye untuk menarik suara sebanyak mungkin. Seperti apa yang disampaikan oleh Plt. Dirjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mengungkapkan bahwa pilkada adalah ritual mahal yang membutuhkan modal dana, guna melakukan segala kepentingannya.
Menurut Bahtiar, biaya minimal yang harus dikeluarkan paslon di kisaran Rp 25 miliar hingga Rp 30 miliar.
“Kalau Rp 25 miliar tadi paling sedikit ya. Bahkan minimal Rp 30 miliar sampai ratusan miliar untuk pemilihan bupati. Kalau pemilihan gubernur bisa sampai triliunan,” ujar Bahtiar. (Kompas, 2/12/2019).
Bahtiar mengungkapkan adanya pihak sponsor atau pemodal untuk menyokong ongkos politik paslon dalam pilkada. “Ya mungkin dari kantong dia pribadi tidak terlalu banyak. Paling sedikit Rp 500 juta. Akan tetapi kalau pertemuan, kampanye akbar, sosialisasi di media itu sudah menghabiskan berapa besar biaya. Kan tidak mungkin murah. Bahkan bisa ratusan miliar ya,” ungkapnya dia. “Ya pasti ada sponsor dari pemodal yang (misalnya) punya bisnis di daerah itu. Nanti kompensasinya (dari kepala daerah terpilih) nanti bisa soal izin bisnis dan sebagainya.
Pilkada Mahal
 
Tentu dalam sistem demokrasi untuk menjadi seorang pemimpin butuh modal besar. Dana tersebut disinyalir dibutuhkan untuk proses kampanye. Dikatakan pilkada sebagai pesta rakyat, adalah sebagai hajat rakyat. Di mana dalam setiap gelaran acara pilkada, disuguhi berbagai panggung hiburan, bagi-bagi kaos, dan atribut partai lainnya. Untuk mampu mendatangkan massa ke tempat kampanye pun ternyata butuh uang pelicin yang bisa menggerakkan orang hingga sampai tempat tujuan. Para calon kepala daerah berlomba-lomba menaikan elektabilitas, yaitu dengan memberikan iming-iming sesaat. Padahal kalau kita belajar dari pilkada sebelumnya, segala janji-janji tersebut hanya pemanis saja.
Inilah ongkos mahal dari pilkada. Sayang, umat selama ini dihadapan dengan gambaran politik praktis yang jauh dari makna politik sesungguhnya. Rakyat dilirik hanya sekadar itu saja. Berbeda saat para kepala daerah itu sampai pada kekuasaan. Mereka harus berpikir keras bagaimana caranya untuk balik modal. Belum lagi para pemimpin yang sudah terpilih harus menjamu para oligarki yang telah memberikan modalnya saat kampanye. Rakyat hanya bisa gigit jari.
Sungguh miris, di saat rakyat memilih para wakil pemimpin sebagai salah satu upaya mereka memperbaiki keadaan, namun orang yang dipilihnya malah lebih sibuk mengamankan kepentingan pribadi dan para oligarki. Fenomena munculnya kepentingan oligarki dalam pilkada adalah keniscayaan yang tidak mungkin bisa dipisahkan. Karena ongkos mahal dari kampanye begitu besar, sehingga membutuhkan sokongan dana.
Calon  pemimpin daerah yang menang akan menjadi tangan kanan kelompok elite politik untuk mengambil sebuah kebijakan yang akan mengamankan kepentingan mereka. Hal tersebut berimbas pada munculnya berbagai izin pengembangan potensi alam suatu daerah untuk dieksploitasi, yang mana keuntungannya untuk kaum pemodal. Untuk itu pilkada menjadi ajang kaum elite oligarki  mencari calon kepala daerah yang potensial, untuk memuluskan segala tujuannya. Yaitu menambah cuan penghasilan dan mengamankan posisi mereka untuk bermain politik yang curang.
Politik Islam, Politik yang Benar
 
Politik Islam sangat berbeda dengan politik yang dilahirkan dari sistem demokrasi. Islam tidak menjadikan kekuasaan dan kepemimpinan sebagai sarana untuk memperkaya diri. Karena politik Islam sejatinya bertujuan untuk mengurusi urusan umat. Dalam sejarahnya, sepanjang Islam diterapkan, memilih pemimpin daerah dalam Islam tidak semahal dalam sistem demokrasi. Tidak ada campur tangan pemodal dalam menentukan pemimpin.
Kepemimpinan dalam pandangan Islam, sebuah tanggung jawab yang sangat besar, yaitu menerapkan syariat Islam untuk mengurusi urusan umat. Dengan kesadaran inilah, Islam telah mampu melahirkan pemimpin yang amanah, karena mereka bekerja bukan  semata-mata meraih materi dan eksistensi semata, namun atas landasan keimanan kepada Allah.
Praktik politik Islam sudah lama dicontohkan oleh Rasulullah dan para khalifah setelahnya, yaitu politik yang berasaskan akidah Islam. Yang bertujuan untuk mewujudkan kemuliaan Islam dan umatnya, berpedoman pada syariat Islam, dan menjadikan Islam sebagai rujukan hukum. Yang dengan kekuasaannya,  Islam mampu menyebar dan memberikan rahmat untuk seluruh alam. Wallahu a’lam. [LM/Ah]
Please follow and like us:

Tentang Penulis