Ada Apa “Jangan Jadi Dosen”?
Oleh: Ipayanti
(pemerhati generasi)
LenSa Media News _ Jagat maya kini ramai dengan tagar #JanganJadiDosen. Berawal dari cuitan seorang netizen yang berbagi cerita tentang gaji pertama menjadi seorang Asn yang baru 80% diterima. Cuitan itu dikomentari netizen lain dengan menyertakan slip gaji masing-masing. Kemudian netizen yang seorang dosen tenaga ahli menambahkan foto slip gaji yang nominal gajinya kurang dari 2,5 juta rupiah, setelah ditambah tunjangan-tunjangan, jumlah totalnya mentog 3,5 juta-an saja. Cuitan tentang gaji itu sambil menyertakan tagar #JanganJadiDosen #janganjadiguru.
Akhirnya ramai pembicaraan jangan jadi dosen, karena netizen dosen lainnya juga turut mengomentari dan membagikan slip gaji mereka yang rata-rata gajinya dibawah 5 juta rupiah. Karena banyak dibicarakan, tagar janganjadidosen menjadi viral (Bbc.com, 25/02/2024).
Dosen adalah agen pendidik generasi bangsa. Kalau prestasi mereka sebagai agen pendidik ini tidak dihargai, kemungkinan besar mereka tidak mau bertahan menjadi dosen. Pengeluaran untuk kebutuhan harian dalam sebulan itu minimal 3 juta. Belum lagi kalau dosen itu sudah berumah tangga dan punya anak lebih dari satu. Tentu saja 2,5 jt masih kurang. Gaji UMR itu masih belum cukup gaes untuk memenuhi kebutuhan harian sampai sebulan. Belum lagi kebutuhan tempat tinggal dan biaya sekolah anak, biaya kesehatan, biaya transportasi dan lain-lain. Kalau dia seorang pewaris maksudnya sudah punya warisan atau hibah tanah, rumah dari orang tua, ya mungkin tidak perlu kerja keras, namun, kalau dia seorang perintis maksudnya berjuang dari nol, tanpa warisan dan pemberian orang tua, tentu gaji 3 juta belum cukup. Biaya hidup kian hari kian bertambah mahal.
Makanya ada dosen yang memilih resign, meninggalkan idealisme nya untuk mengabdikan ilmunya pada generasi dan memilih pekerjaan lainnya yang gajinya lebih besar. Atau mereka sibuk juga mencari sambilan lain agar dapat penghasilan tambahan. Lantas perhatian ketika mengajar menjadi tidak fokus, terbagilah dengan sambilan lain. Belum lagi tugas administrasi kampus yang bejibun.. duh, ya Allah.
Kalau banyak dosen yang “sang perintis” itu resign, bagaimana dong nasib generasi bangsa tercinta ini. Siapa yang akan mengajar dan menebarkan ilmu? Apa harus mengimpor dosen dari luar negeri seperti yang pernah diwacanakan? Waduh gaswat. Bisa-bisa generasi bangsa dapat ilmu lainnya yakni kebiasaan orang luar, kebiasaan yang baik dan sesuai islam tidak apa-apa, tapi kalau kebiasaan itu adalah budaya orang barat yang tidak sesuai bidaya islam, bisa berabe. Mau dibawa kemana nasib generasi ini.
Dari tagar #JanganJadiDosen yang trending, dibicarakan sampai 7000x pembicaraan, ini menjadi gambaran dan sindiran bahwa tenaga pengajar di Indonesia masih belum dihargai alias mereka masih mendapat penghargaan yang rendah. Beda banget dahulu ketika jaman khalifah Umar Bin Khattab, khalifahnya kaum muslim. Dalam buku karangan Dr. Jaribah bin Ahmad Al-Haritsi berjudul “Fikih Ekonomi Umar Bin Khattab” beliau Sang singa padang pasir itu sangat antusias dan mendukung terhadap pengembangan SDM waktu itu. Bahkan beliau tidak segan-segan menghukum mereka yang tidak mau menuntut ilmu. Karena dalam Islam, menuntut ilmu itu wajib hukumnya (surat At Taubah Ayat 122) dan khalifah akan menghukum bagi siapa saja yang tidak menuntut ilmu.
Bahkan tak hanya itu saja, sebagai bentuk penghargaan terhadap pengajar/guru, umar bin khattab membayar gaji para pengajar itu sebesar 15 dinar setiap bulannya. Masya Allah, luar biasa, kalau dirupiahkan jaman sekarang 15 dinar itu : 15 x 4,25 gram x Rp 1.300.000 (dengan asumsi 1 dinar ada 4,25 gram emas, dan 1 gram emas sekarang 1,3 juta), hasilnya 15 dinar itu sama dengan 82 juta an. Masya allah. Dan bayaran untuk seorang penulis adalah emas dengan berat buku yang dia tulis. Makanya kesejahteraan pengajar dan penulis sangat terjamin. Karya dan jerih payah mereka dihargai sekali. Mereka pun nyaman dan senang menjadi pengajar dan penulis lantas bersungguh-sungguh berdedikasi untuk pekerjaannya dalam mendidik. Kalau sekarang hal seperti itu diterapkan, semua orang akan berlomba-lomba jadi jadi pengajar dan penulis. Dengan begitu dia akan sungguh-sungguh dan bisa fokus mengajar tidak lagi dibebani pikiran untuk mencari penghasilan tambahan. Generasi yang menjadi muridnya pun juga bisa optimal menyerap ilmu guru nya. Pingin kan kalau seperti itu? Makanya Gaes, ayok kita bangunkan potensi umat ini, mereka itu akan meraih kemajuan dan kesejahteraan kalau mereka menggunakan agama mereka. Bukan malah meninggalkan Islam, karena jika Islam ditinggalkan dari mengatur kehidupan, yang terjadi adalah seperti sekarang ini. kekacauan dalam segala aspek kehidupan. Yuk Gaes, back to Islam! Allahu ‘alam Bishawab
(LM/SN)