PPN Naik, Beban Hidup Rakyat Makin Berat
Oleh: Yani Ummu Qutuz
(Member AMK Pegiat Literasi)
(Member AMK Pegiat Literasi)
Lensamedianews.com, Opini – Berbagai kenaikan bahan pangan terus terjadi. Harga beras yang melonjak, bak tupai yang melompat dari pohon ke pohon. Begitu juga harga sayur mayur, seolah saling berlomba. Ditambah lagi ada wacana dari pemerintah untuk menaikkan PPN. Hal ini tentu akan memberatkan rakyat.
Beberapa waktu lalu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Erlangga Hartarto menyatakan bahwa pemerintah akan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025. (kompas.com, 30/03/2024).
Jika tarif PPN jadi naik menjadi 12%, maka Indonesia akan sama dengan Filipina, menjadi yang tertinggi se-Asia Tenggara. Fantastis bukan! (Antara, 20/03/2024).
Kenaikan PPN diprediksi berdampak pada sejumlah sektor. Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment INDEF, Heri Firdaus, menyatakan sektor industri pengolahan dan jasa penyediaan akomodasi makanan dan minuman menjadi sektor yang paling berdampak secara signifikan. Kenaikan PPN ini menyebabkan biaya produksi meningkat, sehingga harga jual pun ikut naik. Harga jual yang tinggi berdampak pada menurunnya daya beli masyarakat, maka penjualan pun akan merosot.
Begitu pula yang terjadi di industri ritel, jika penjualan menurun maka dunia usaha akan melakukan penyesuaian baik input dan produksi, termasuk tenaga kerja. Kenaikan PPN ini kemungkinan akan berimbas pada penyesuaian tenaga, dunia industri akan melakukan PHK terhadap karyawannya.
Pajak dalam sistem demokrasi menjadi sumber pemasukan negara. Negara akan mencari berbagai alasan untuk menambah pajak dengan menyasar objek-objek pajak. Dalam hal ini pemerintah seolah buntu untuk mencari alternatif lain sebagai solusi. Karena memang pemikiran pemerintah didominasi oleh pemikiran kapitalisme yang memandang bahwa pajak adalah instrumen utama untuk pendapatan negara.
Padahal pajak adalah pungutan paksa yang sangat membebani kehidupan rakyat. Pungutan pajak begitu tegas terhadap rakyat namun lunak terhadap pengusaha. Jika rakyat menunggak pajak, sanksi tegas akan diberlakukan pada mereka. Namun jika pengusaha yang omsetnya triliunan rupiah, mereka dengan mudah mendapatkan ampunan pajak walau mangkir dari kewajiban.
Kenaikan tarif PPN menambah beban hidup rakyat. Ini adalah bentuk pemalakan penguasa terhadap rakyatnya yang merupakan tindakan zalim. Sungguh Allah membenci perbuatan zalim dan mengancam pelaku dengan siksa yang pedih sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya kesalahan hanya ada pada orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas tanpa (mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapat siksa yang pedih.” (TQS Asy-Syura: 42).
Islam memandang bahwa dharibah adalah pemasukan negara yang sifatnya insidental. Dharibah ditarik dari orang-orang kaya saja ketika kondisi kas di Baitulmal kosong. Berbeda dengan pajak saat ini, negara kapitalis memungut pajak secara terus menerus pada orang kaya maupun orang miskin.
Islam memberikan solusi mustanir terhadap persoalan-persoalan ini dengan penerapan sistem Islam kafah. Dalam bidang ekonomi, negara dalam sistem Islam memiliki banyak pos pendapatan. Sumber pemasukan tetap Baitulmal adalah fa’i, jizyah, kharaj, seperlima harta rikaz, dan zakat.
Pun ada pos bagian kepemilikan umum, meliputi migas, listrik, pertambangan, laut, sungai, perairan dan mata air, hutan dan padang rumput, ataupun aset-aset yang diproteksi negara untuk keperluan khusus. Semuanya dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat.
Berikutnya bagian sedekah, meliputi zakat mal dan perdagangan, zakat pertanian dan zakat ternak yang diperuntukkan khusus 8 golongan sesuai syariat Islam.
Seandainya pemerintah punya keinginan memaksimalkan pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam milik umum. Tentu pemerintah tak perlu memungut pajak dan berutang karena pemasukannya sudah mencukupi untuk mengurus rakyat.
Wallahu a’lam bishshawab. [LM/Ah]
Please follow and like us: