Masih Flexing Saat Ramadan? Udahin Aja!

Oleh : Ummu Rifazi, M.Si

 

Lensa Media News – Nuansa Ramadhan tahun ini masih kental dengan budaya hedonisme, sebut saja War Takjil dan fenomena flexing atau pamer harta. Cukup viral di media sosial instagram, bagaimana orang-orang rela mengeluarkan uang untuk menyewa iPhone hingga custom lanyard BUMN. Harga promo penyewaan ponsel saat lebaran, cukup beragam, mulai dari Rp 75 ribu hingga Rp 600 ribu. Penyewaan lanyard BUMN ke publik pun menunjukkan bahwa flexing tak hanya sebatas pamer harta namun juga pamer pencapaian karier (cnbcindonesia.com).

Habit flexing tidak hanya dalam kedua hal tersebut, namun juga pamer amalan. Banyak orang yang suka memposting ke akun media sosial untuk setiap amalan yang dilakukannya (ramadan. kompasiana.com)

 

Kebahagiaan Semu Ala Kapitalisme 

Sistem kapitalisme yang diterapkan di negeri ini menjadikan materi sebagai orientasi kebahagiaan hidup. Kebahagiaan diukur melalui kekayaan, status sosial, prestis, maupun jabatan. Cara pandang seperti ini menjadi pemicu lahirnya fenomena flexing.

Dalam fenomena flexing, manusia sibuk mengejar validasi antar sesama manusia yang hanya melahirkan kebahagiaan sesaat (kebahagiaan semu). Mereka tanpa sadar digiring menjadi manusia berkualitas rendah, yang menjadikan materi sebagai standar kebahagiaan dan status sosial hidupnya. Orang berharta dianggap suatu kebanggaan dan prestise, sementara orang miskin dianggap sebagai suatu kehinaan dan keterpurukan.

 

Kebahagian Hidup Hakiki Hanya dengan Islam 

Kebahagiaan hidup hakiki hanya bisa diraih dari kehidupan yang diatur dengan sistem yang shahih, yaitu Islam. Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Kitab Nidzhamul Islam menjelaskan bahwa tolok ukur kebahagiaan hakiki dalam Islam adalah ketika seorang hamba menjadikan standar baik buruknya suatu perbuatan berdasarkan aturan Allah, bukan berdasarkan penilaian dari sesama manusia. Sehingga seorang hamba yang ingin meraih keridhaan Allah akan selalu berusaha taat dan bertakwa kepada Allah dan Rasul-Nya dengan menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.

Keridhaan Allah secara fitrah akan dirasakan dalam wujud ketenangan dan kebahagiaan yang dirasakan seorang hamba yang dikenal dengan sikap qonaah (menerima) terhadap pencapaian sosialnya sebagai bagian dari rizki. Seorang hamba yang qonaah tidak akan merasa sedih maupun minder dengan perolehan rizkinya yang sedikit, dan tidak juga bermental pengemis, sebaliknya akan selalu mengoptimalkan usahanya. Dia memahami bahwa yang Insyaallah akan dinilai dan mendapatkan pahala dari Allah ta’alaa adalah usahanya, bukan keadaan status sosialnya. Sebaliknya jika memiliki harta yang banyak, tidak akan berbangga diri dengannya dan tidak akan mudah flexing karena dia sadar harta yang diperolehnya hanyalah titipan yang harus dikelola sesuai aturan Allah karena akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat.

Allah telah mengingatkan hambaNya untuk berhati-hati dengan harta yang banyak dalam QS. At Takatsur : 1-3. Islam mengajarkan kita untuk berbagi harta kita lewat berbagai amalan seperti bershadaqah, berinfak dan amalan lainnya dalam membelanjakan harta. Dari Abu Hurairah, Rasulullah juga bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak akan melihat pada bentuk rupa dan harta kalian, akan tetapi Allah hanya melihat dari hati dan amalan kalian (HR. Muslim).

Tradisi Zimem Defteri pada masa Khilafah Utsmaniyyah, merupakan suatu kebiasaan yang lahir dari amal shalih tersebut. Tradisi tersebut masih dijalankan masyarakat Turki sampai saat ini, disamping tradisi Asikda ekmek dan Iftar sofrasi. Sikap shahabat Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf dalam bersedekah untuk kepentingan Islam juga menjadi contoh implementasi amalan shalih tersebut.

Negara yang menerapkan aturan Islam secara kaffah akan berperan sebagai junnah (perisai) bagi rakyatnya dan tidak akan membiarkan bibit flexing berkembang. Contohnya adalah kebijakan Khalifah Umar Bin Khattab memberhentikan Khalid bin Walid dari jabatan panglima perang ketika melihat ketawakalan masyarakat mulai bergeser dikarenakan hampir dalam setiap jihad yang dipimpin oleh Khalid bin Walid meraih kemenangan. Padahal kemenangan semata-mata karena Allah Azza wa jalla, bukan karena Khalid. Jika masih ada individu yang menjalankan flexing, negara akan mengedukasi oknum tersebut, meminta masyarakat untuk saling beramar ma’ruf nahi mungkar. Negara akan memberi sanksi ta’zir kepada pelaku flexing karena sudah membuat keresahan dengan perilaku yang tidak sesuai aturan dalam kehidupan bermasyarakat. Allahummanshuril bil Islam, Wallahu a’lam bisshawwab.

 

[LM/nr]

Please follow and like us:

Tentang Penulis