Banjir Impor Jelang Lebaran, Bukti Negara Tak Berdaulat Pangan

Oleh: Dinar Rizki Alfianisa

(Kontributor Lensamedia) 

 

 

LenSaMediaNews.com__Lebaran akan segera tiba, hari yang ditunggu-tunggu oleh banyak masyarakat di Indonesia baik muslim maupun non muslim. Karena ini adalah momentum yang pas untuk silaturahmi dan kumpul keluarga.

 

Menu yang biasa terhidang di momen lebaran adalah ketupat, opor ayam, rendang, kue nastar dan lain sebagainya. Tak heran permintaan bahan makanan seperti beras dan daging melonjak tinggi di momen menjelang lebaran.

 

Karena kebutuhannya yang tinggi, dalih pemerintah untuk membuka keran impor bahan makanan tersebut menjadi pembenaran. Di bulan Maret saja akan tiba 450 ribu ton beras impor, setelah sebelumnya masuk sebanyak 950 ribu ton (liputan6.com, 23-03-2024).

 

Belum lagi daging sapi yang angka impornya tidak kalah fantastis. Sebanyak 2.350 ekor sapi hidup dari Australia akan didatangkan untuk memenuhi kebutuhan di momen lebaran nanti, dari total rencana impor sapi hidup sepanjang tahun 2024 sebanyak 20.000 ekor (cnbcindonesia.com, 20-03-2024).

 

Negara Belum Berdaulat Pangan

Lebaran adalah momen yang rutin berlangsung setiap tahunnya. Setiap momen lebaran permintaan akan bahan-bahan kebutuhan di atas, pasti akan melonjak tinggi dibandingkan dengan hari-hari biasa. Seharusnya negara paham dengan kondisi ini sehingga bisa melakukan upaya pemenuhan kebutuhan tanpa harus membuka keran impor sebanyak itu.

 

Tidak heran dalam sistem kapitalisme ini dalih impor dijadikan tameng untuk swasembada pangan, seolah sudah menjadi tradisi kebijakan impor dilakukan. Padahal Indonesia sendiri dengan kekayaan alam yang ada memiliki potensi besar untuk tidak impor.

 

Negara ini sendiri menganut sistem kapitalisme-neoliberal dalam mengatur tata kelola pangan. Indonesia ikut serta menandatangani ratifikasi Agreement of Agriculture (AoA) yang memaksa terlibat dalam liberalisasi pasar.

 

Dengan masuknya Indonesia dalam perjanjian Pertanian (AoA) WTO 1995, maka terjadilah proses liberalisasi pertanian yang radikal. Liberalisasi pertanian ini menyerahkan sistem pertanian dan nasib petani Indonesia kepada mekanisme pasar bebas, yaitu “free-fight liberalism” (liberalisme pertarungan bebas).

 

Inti dari penandatangan perjanjian ini, Indonesia harus meliberalisasikan pasar komoditi pangannya, menghapus hambatan tarif dan hambatan lainnya, serta segera mencanangkan swastanisasi pangan. Hal ini menyebabkan terjadinya erosi kedaulatan nasional, dan mempersempit kemampuan pemerintahan serta masyarakat untuk menentukan berbagai pilihan dalam kebijakan pangan.

 

Akibat kebijakan dalam sektor pangan ini, maka terjadi peningkatan tajam terhadap impor. Kebalikannya, penurunan yang tajam terjadi pada produksi pangan dalam negeri akibat petani tidak mampu bersaing dengan barang impor yang jauh lebih murah. Maka sudah dapat dilihat bahwa negara ini masih jauh dari kata “berdaulat pangan”.

 

Islam Menjamin Kedaulatan Pangan

Sektor pangan adalah salah satu sektor yang paling penting dalam ketahanan suatu negara. Negara akan kuat salah satunya jika negara berdaulat pangan dan seluruh masyarakat terpenuhi kebutuhannya pokoknya.

 

Islam dengan aturan kehidupannya yang sempurna akan menjamin kebutuhan pokok yang menyeluruh bagi rakyatnya. Negara sebagai pengurus dan perisai umat akan bertanggungjawab akan hal itu. Maka dengan politik Islam pangan negara berupaya untuk bisa mensejahterakan rakyatnya.

 

Pertama, negara akan mendorong optimalisasi produksi pangan dalam negeri dengan memudahkan akses para petani untuk mendapatkan kebutuhan produksinya sehingga baik rakyat maupun petani akan sama-sama untung. Rakyat bisa mendapatkan bahan pangan dengan mudah, berkualitas dan harganya terjangkau.

 

Kedua, negara akan mendorong masyarakat untuk mengadaptasi gaya hidup yang sederhana dan tidak berlebihan dengan sosialisasi dan penanaman akidah yang baik.

 

Ketiga, negara akan ketat dalam mengawasi pendistribusian bahan pangan dan memastikan rakyat mendapatkan kemudahan dalam memperoleh bahan pangan.

 

Keempat, negara dengan kemampuan teknologinya akan mengatasi hambatan produksi seperti perubahan iklim, dan lain sebagainya.

 

Kelima, negara akan menyediakan infrastruktur yang mendukung seperti akses jalan yang baik agar bahan pangan dapat terdistribusi dengan baik.

 

Dengan kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh negara Islam tersebut bukan hal yang mustahil jika kedaulatan pangan akan didapatkan oleh negara.

Wallahu’alam. [LM/Ss] 

Please follow and like us:

Tentang Penulis