THR Tidak Merata, Kesejahteraan Pegawai Dipertanyakan

Oleh: Nurjannah Sitanggang

(Kontributor Lensamedia) 

 

 

LenSaMediaNews.com_Pemerintah memastikan perangkat desa dan honorer tidak mendapatkan tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13 tahun 2024 ini. Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian menjelaskan perangkat desa, termasuk kepala desa, tidak termasuk aparatur sipil negara (ASN) sebagaimana yang diatur undang-undang. Oleh sebab itu, Pemerintah tidak menganggarkan THR untuk kelompok tersebut.

 

Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 14 Tahun 2024 yang menetapkan aparatur sipil negara (ASN) menerima pencairan penuh tunjangan hari raya (THR) dan gaji ke-13 pada tahun ini.

 

Secara rinci, komponen THR dan gaji ke-13 untuk ASN/pejabat/TNI/Polri terdiri dari gaji pokok sesuai nilai penghasilan per Maret 2024 untuk THR, dan Mei 2024 untuk gaji ke-13; tunjangan jabatan/umum; tunjangan yang melekat pada gaji pokok (tunjangan keluarga dan tunjangan pangan); serta 100 persen tunjangan kinerja bagi ASN pusat dan setinggi-tingginya 100 persen untuk ASN daerah. Pemberian tunjangan kinerja bagi ASN daerah mempertimbangkan kemampuan kapasitas fiskal daerah dan sesuai peraturan perundang-undangan (AntaraNews, 15/3/2024).

 

Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mencatat, anggaran untuk membayar tunjangan hari raya (THR) lebaran Idulfitri 2024 bagi aparatur sipil negara (ASN/PNS) pusat maupun daerah mencapai Rp48,7 triliun. THR PNS tersebut dibayarkan paling cepat pada H-10 lebaran Idulfitri (Liputan6, 15/3/2024).

 

Kementerian Keuangan optimis dengan kebijakan pencairan THR ini dapat mendorong pertumbuhan perekonomian Tanah Air menjadi 5,2 persen pada 2024 sesuai target pemerintah.

 

Sebenarnya jika kita lihat dari sisi kerja dan tanggung jawab perangkat desa, honorer dan para ASN pusat/daerah, semuanya adalah pegawai yang mengabdi dan bekerja untuk negara. Tidak sepantasnya ada pembedaan atau penganaktirian satu dengan yang lain, sebab hakikatnya mereka adalah pada pegawai yang berkontribusi dalam urusan negara. Mereka adalah para abdi negara yang selayaknya mendapatkan perlakuan yang sama termasuk dari sisi pemberian tunjangan. Adanya istilah honorer bisa dikatakan karena negara tidak mampu menggaji mereka dengan layak atau mengangkat mereka menjadi pegawai negara karena keterbatasan dana negara.

 

Sungguh ini fakta yang menyedihkan, sebab hakikatnya mayoritas gaji para ASN terutama honorer sebenarnya belum bisa dikatakan layak sebab gaji itu faktanya belum mampu menyejahterakan mereka. Apalagi jika tunjangan berupa THR dan gaji 13 ditiadakan bagi sebagian pegawai.

 

Pemerintah memang beralasan tidak adanya tunjangan supaya tidak membebani APBN dan APBD. Wajar saja, sebab memang sistem kapitalisme telah membuat negara termiskinkan sebab negara tidak punya pemasukan strategis karena kekayaan alam telah diserahkan pada swasta. Mayoritas pemasukan negara adalah pajak, lagi-lagi rakyat jadi korban pemalakan.

 

Hal ini berbeda dengan Islam. Islam memberikan jaminan kesejahteraan bagi rakyat dengan menggratiskan pendidikan, kesehatan dan keamanan. Khusus untuk para pegawai negara mereka akan mendapatkan gaji yang sangat besar. Di masa Umar bin Khattab gaji seorang guru pengajar Al-Qur’an mencapai 15 dinar perbulan, ini setara dengan 63 juta rupiah jika harga 1 gram emas satu juta rupiah. Tentu gaji ini jauh lebih besar dibandingkan apa yang didapatkan oleh para ASN hari ini.

 

Tingginya jaminan kesejahteraan pegawai negara dalam Islam tidak lepas dari pengaturan negara dengan Islam. Sebab pemasukan dan pengeluaran negara diatur oleh Islam. Sumber pemasukan negara sangat banyak di antaranya: kharaj, fa’i, ghonimah dan sumber daya alam. Wajar saja negara punya banyak harta untuk mensejahterakan rakyat dan para pegawai negara.

 

Wallahu a’lam. [LM/Ss]

Please follow and like us:

Tentang Penulis