Utang Naik, Penjajahan Semakin Mencekik
Oleh: Ade Aisyah A.Md
(Praktisi Pendidikan dan Aktivis Dakwah Islam kafah)
LenSa MediaNews__Utang akan menjadi kehinaan di siang hari dan kegelisahan di malam hari. Begitulah kondisi yang dirasakan oleh yang memiliki utang. Akan tetapi, sungguh aneh apa yang dirasakan pemerintah, dengan jumlah utang yang naik masih saja merasa tenang dan aman-aman saja.
Dikutip dari bisnis.tempo.co.id (1-3-2024) Kementerian Keuangan atau Kemenkeu menyatakan utang pemerintah yang berjumlah Rp 8.253 triliun per 31 Januari 2024 masih dalam rasio aman. Hal tersebut dikarenakan bahwa jumlah utang tersebut berada di bawah ambang batas 60 persen dari produk domestik bruto atau PDB. Akan tetapi, lain lagi pendapat ekonom Bright Institute, Awalil Rizky yang menyebutkan bahwa batas atas 60 persen dalam UU tentang Keuangan Negara mestinya tidak ditafsirkan sebagai batas aman kondisi utang, melainkan batas yang tidak boleh dilampaui.
Sampai saat ini, negara masih terus meningkatkan utang untuk membangun negara. Catatan dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menyebutkan bahwa utang pemerintah naik menjadi Rp8.253,09 triliun per Januari 2024. Kenaikan ini sebesar Rp108,4 triliun dibandingkan utang di Desember 2023, yakni sebesar Rp8.144,69 triliun. (cnnindonesia.com, 24-2-2024)
Bahkan bisa-bisanya pemerintah berdalih masih dalam batas aman. Padahal rakyat sudah ketar-ketir dengan tanggungan utang yang menggunung jika utang tersebut dibagikan ke setiap warga negara Indonesia yakni sebesar Rp.30.5 juta. Hitungan ini disampaikan menurut ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira.
Padahal, tak dapat dipungkiri utang bisa membahayakan kedaulatan negara. Dominasi asing atau bisa dikatakan penjajahan akan semakin mencekik. Negara kita akan dengan mudah disetir sesuai kepentingan negara pemberi utang. Undang-undang Omnibus Law contohnya adalah UU yang sarat kepentingan para kapitalis dan tidak pro kepada rakyat. Bahkan John Perkins mengingatkan bahwa utang luar negeri akan memastikan anak–anak hari ini dan cucu mereka di masa depan menjadi sandera (akibat utang). Mereka harus membiarkan perusahan-perusahaan kami mengambil sumber daya alam mereka serta harus mengorbankan pendidikan, jaminan sosial untuk membayar kami kembali.
Selain bahaya penjajahan, utang pemerintah dipastikan mengandung riba. Allah SWT telah mengharamkan riba berdasarkan firman-Nya dalam QS Ali Imran Ayat 130, yang artinya:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan. Peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.”
Sungguh miris, dalam sistem ekonomi kapitalis, utang adalah suatu keniscayaan. Negara melakukan pembangunan sumber utama pembiayaannya adalah dari utang. Bahkan negara yang mendapatkan utang dikatakan negara yang mendapatkan kepercayaan dari negara lain sehingga gambaran utang itu layaknya suatu penghargaan.
Berbeda halnya dengan Islam. Islam memiliki sistem ekonomi dan politik yang khas. Sistem tersebut terpancar dari asas akidah Islam. Halal dan haram akan diperhatikan termasuk dalam hal pembiayaan negara. Dengan sistem Islam, negara akan menjadi kuat berdaulat dan mandiri. Hal ini disebabkan negara tidak bergantung kepada utang dalam menjalankan pembangunan.
Penerimaan negara sebagai modal pembangunan dalam Islam banyak sekali sumbernya. Di antaranya bersumber dari harta kepemilikan umum (seperti pertambangan,hutan, sumber daya laut), zakat dan sedekah, ghanimah, kharaj, harta yang tidak ada ahli warisnya, dsb.
Dengan banyaknya sumber penerimaan negara tersebut, negara tidak perlu lagi berutang kepada negara lain apalagi sampai mengancam kedaulatan negara. Sistem politik dan ekonomi Islam tersebut hanya bisa diterapkan oleh negara yang menjalankan Islam secara sempurna dalam seluruh dimensi kehidupan. Semoga bisa segera kita wujudkan bersama.
Wallahu ‘alam bishshawab.