Korupsi Dana Taspen Sungguh Memprihatinkan

Oleh : Nurjannah Sitanggang

 

Lensa Media News–Menteri BUMN Erick Thohir menonaktifkan Direktur Utama PT Taspen Antonius Kosasih, buntut kasus dugaan korupsi investasi fiktif di Taspen untuk tahun anggaran 2019 yang tengah dalam penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Tempo, 10/03/2023).

 

Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PANRB) Abdullah Azwar Anas turut bersuara terkait dengan kasus dugaan korupsi yang menyeret nama Direktur Utama PT Taspen (Persero) Antonius NS Kosasih.

 

PT Taspen sendiri merupakan perusahaan plat merah yang bergerak di bidang asuransi, tabungan hari tua, dan dana pensiun untuk Pegawai Negeri Sipil (PNS). Meski tersandung kasus korupsi, Anas menegaskan, pengelolaan uang pensiun di Taspen tetap dalam kondisi aman (Detikfinance.com, 14/3/2024).

 

Korupsi di Lembaga negara kembali terjadi. Tentu publik tidak perlu heran sebab ini bukan kasus korupsi pertama yang pernah terjadi. Bukankah sejak KPK dibentuk berdasarkan undang-undang no.30 tahun 2022 tampak bahwa korupsi justru membanjiri negeri ini? Sejak KPK berdiri hingga Agustus 2022 sebanyak 310 anggota DPR dan DPRD, 154 bupati atau wali kota dan 22 gubernur tersandung kasus korupsi. Rejim berganti, ketua KPK berganti tapi kasus korupsi tidak pernah berhenti.

 

Maraknya kasus korupsi menunjukkan bahwa sistem pendidikan yang diterapkan oleh negara telah gagal mencetak SDM yang amanah. Sebab pendidikan diatur dengan sistem sekuler. Sistem sekuler telah menjauhkan individu dari akidah yang benar.

 

Hidup yang seharusnya untuk ibadah justru diubah menjadikan hidup semata demi manfaat dan materi. Sehingga wajar terlahir individu-individu yang jauh dari agama dan menghalalkan segala macam cara demi kenikmatan pribadi. Wajar saja akhirnya yang muncul adalah individu yang sibuk menumpuk harta tanpa mengenal halal dan haram.

 

Disinilah pentingnya agama digunakan dalam mengatur kehidupan, sebab adanya rasa takut pada Allah akan melahirkan takwa dan takut berbuat dosa. Manusia yang takut pada Allah, iman pada syurga dan neraka akan berusaha menjadikan perbuatannya terikat dengan aturan Allah.

 

Takut pada Allah ini bisa memaksa seseorang untuk sabar dalam meninggalkan perbuatan dosa meski kesempatan ada karena yakin Allah pasti akan memberikan balasan baik di dunia dan di akhirat.

 

Sistem sekuler telah berhasil menjauhkan manusia dari agama. Rasa takut dalam berbuat dosa, termasuk rasa takut korupsi terhadap uang rakyat hampir sirna. bahkan yang lebih parah korupsi ini justru dilakukan secara berjamaah.

 

Ini menjadikan perbuatan korupsi seolah jadi hal biasa. Pemberitaan korupsi tidak pernah berhenti akan tetapi banyak diantara kasusnya menguap begitu saja tanpa penyidikan lanjut dan tanpa hukuman setimpal.

 

Wajar jika akhirnya pemberitaan Kasus korupsi tidak melahirkan rasa takut atau rasa malu untuk korupsi, bahkan tidak menurunkan angka korupsi. Hal ini karena sistem sanksi yang diterapkan oleh negara juga tidak memberikan efek jera.

 

Tentu sangat berbeda dalam Islam. Sistem pendidikan Islam yang berdasarkan akidah Islam akan melahirkan individu yang takwa. Output yang dihasilkan adalah SDM yang amanah. Ketakwaan ini menjadikan rakyat dan para pegawai negara memiliki rasa takut dalam berbuat dosa dan maksiat. Intinya jika manusia punya rasa takut pada Allah maka tentu mudah mengarahkannya pada kebaikan.

 

Disisi lain Islam punya mekanisme dan aturan dalam mensejahterakan rakyat. Islam menempatkan pemimpin sebagai pengurus urusan rakyat. Negara wajib meriayah urusan rakyat dengan benar. Khusus untuk pegawai negara, negara akan berusaha memberikan mereka upah yang layak.

 

Hal ini supaya para pegawai negara bisa bekerja optimal dan profesional dan keluarganya tetap menikmati hidup layak tanpa harus mengambil harta rakyat. Jaminan kesejahteraan rakyat akan menghalalangi tindak korupsi para pegawai negara.

 

Selain itu Islam memiliki sistem sanksi yang tegas. Ini bertujuan mencegah pelanggaran aturan dan hukum syara. Korupsi termasuk kategori ta’zir yaitu jenis sanksi dan kadarnya ditentukan oleh Khalifah bisa berupa penjara, cambuk, dan lain-lain. Di antara para sahabat Nabi yang paling tegas dalam pengawasan harta para pejabat adalah Umar ibn Khattab.

 

Setiap kali Umar mengangkat wali (pejabat) di suatu wilayah, ia mewajibkan yang bersangkutan untuk menghitung kekayaannya sebelum serah terima jabatan. Lalu, menghitung ulang setelah selesai melaksanakan tugasnya. Apabila kekayaannya bertambah lebih dari pendapatan gajinya, Umar akan menyita hartanya dan memerintahkannya untuk memasukkannya ke dalam kas negara.

 

Penyitaan harta ini membuat pejabat yang korup tidak akan mendapatkan apa-apa dari tindakan korupsinya selain rasa malu, dosa, dan sanksi yang ditentukan negara. Jika begitu wajar jika dalam sistem Islam secara sistematis perbuatan korupsi akan tereliminasi dari kehidupan para pejabat.Wallahu alam . [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis