Generasi Muslim, Bukan Generasi Perundung


Oleh: Lulu Nugroho

 

LenSa MediaNews__Perundungan menjadi masalah besar bagi generasi. Berulangnya kasus ini seperti efek domino, yang tak mampu dituntaskan sistem yang sedang bekerja hari ini. Sebagaimana yang terjadi di Bengkong Sadai, Kota Batam, Kepulauan Riau (Kepri), pada Minggu, 29 Februari 2024, melukai dunia anak, di Kota Batam. Kasus ini menambah panjang daftar perundungan (bullying) yang kerap kali terjadi beberapa waktu belakangan ini. Polresta Barelang telah menetapkan empat tersangka di Batam, yang videonya tengah viral di media sosial. (Batamnews, 2-3-2024)

 

Terdapat dua video yang beredar. Pada video pertama, korban mengenakan kaos putih dan celana hitam dihajar oleh sekelompok remaja putri. Pelaku menendang kepala korban dan menjambak rambut korban. Adapun video kedua, pelaku menendang wajah korban yang mengenakan kaos hitam dan celana kuning, hingga kepalanya terbentur ke pintu besi ruko.

 

Korban dan pelaku sama-sama putus sekolah. Mereka saling kenal. Berdasarkan hasil penyidikan sementara, kelompok remaja putri tersebut menganiaya korban karena sakit hati, sebab pacarnya direbut. Namun demikian, polisi masih mendalami dugaan tersebut. Nina selaku Wakil Ketua Divisi Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH) dan Pengasuhan Komisi Pengawasan Perlindungan Anak Kota Batam menjelaskan, bahwa kasus ini bisa terjadi karena kurangnya pengawasan dan perhatian kepada anak, dan tingginya angka anak yang putus sekolah.

 

Miris memang, anak perempuan menjadi pelaku perundungan terhadap sesamanya. Karena pelaku dianggap di bawah umur, sebagaimana aturan yang berlaku di negeri ini, maka diterapkan hukum peradilan anak. Dan sebagai anak berhadapan dengan hukum, maka akan mendapatkan sanksi yang lebih rendah, sebab merujuk pada definisi anak adalah, di bawah usia 18 tahun. Model sistem peradilan seperti ini, menjadi celah munculnya kasus dan pelaku baru, serta varian kejahatan yang semakin beragam.

 

Islam Mencegah Perundungan

Merebaknya kasus perundungan menunjukkan kegagalan pendidikan saat ini. Semakin banyak anak menjadi pelaku kekerasan. Lemahnya pengasuhan meninggalkan jejak buruk pada generasi, dan tak mampu mencetak anak didik berkepribadian mulia. Maka tak pelak menjauhkan Allah SWT pada pengaturan kehidupan manusia, sungguh berdampak pada semua sektor, termasuk pendidikan. Akibatnya dapat kita lihat, anak-anak berperilaku keras, hilang rasa mengasihi sesama, mengandalkan kekuatan fisik untuk menunjukkan keakuannya, serta menindas orang lain untuk mencapai tujuannya.

 

Ketidakdekatan individu dengan tuntunan Allah SWT, menyebabkan generasi tidak memiliki teladan yang baik. Padahal pribadu baik tidak muncul dengan sendirinya, bak jatuh dari langit. Akan tetapi anak-anak membutuhkan bimbingan, serta panutan dari orang di sekitarnya, baik itu guru, orang tua atau tokoh masyarakat. Keteladanan berpengaruh besar pada arah pandang mereka kepada kehidupan. Maka orang tua dan orang-orang yang bertanggung jawab terhadap generasi, termasuk penguasa, pun perlu membekali diri dengan ilmu dan ketaatan kepada Allah SWT.

 

Sementara itu, melihat pelaku dan korban yang sama-sama putus sekolah, bisa jadi mereka bahkan tidak pernah mengenyam bangku pendidikan. Akibatnya, tidak tertanam budi pekerti dan akhlak yang baik. Maka menjadi tanggung jawab penguasa untuk memenuhi hak anak-anak atas pendidikan, menuntaskan kemiskinan dan menjadikan kesejahteraan terjangkau bagi setiap rakyat, individu per individu.

 

Di samping itu, definisi anak di bawah umur, untuk usia sebelum 18 tahun, menjadikan persanksian lebih ringan, hingga akhirnya para pelaku berani berbuat aniaya. Sementara dalam Islam, baligh menjadi penanda bahwa anak tersebut telah terkena beban hukum (taklif). Maka di usia tersebut, ia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sedangkan anak yang belum baligh, maka ia berada di bawah tanggung jawab orang tuanya. Orang tuanyalah yang harus menghadapi sanksi atas tindak kejahatan yang dilakukan anaknya.

 

Islam memiliki sistem persanksian yang bersifat penebus (jawabir) dan pencegah (zawajir) yang mampu membuat jera, termasuk dalam menetapkan pertanggungjawaban pelaku dalam batas balighnya seseorang atau usia 15 tahun. Sebab pada usia baligh, seseorang sudah terkena beban hukum (taklif) dan wajib baginya terikat dengan syariat.

 

Tauhid menjadi hal utama dalam pendidikan generasi salih. Beliau shalallahu’alaihi wa sallam menanamkan nilai-nilai iman pada usia anak-anak, sebagaimana hadits Abdullah bin Abbas radhiyallahu’anhuma berikut ini,

“Pada suatu hari, saya pernah (dibonceng) dibelakang Rasulullah shalallahu’alaihi wa sallam. Kemudian beliau shalallahu’alaihi wa sallam bersabda: Nak, Aku akan mengajarkanmu beberapa kata:
Jagalah Allah, maka Allah akan menjagamu.
Jagalah Allah, maka engkau akan mendapati Allah berada di hadapanmu. Jika kamu meminta, maka mintalah kepada Allah. Dan jika kamu meminta pertolongan, mintalah pertolongan kepada Allah
Ketahuilah, Jika sekelompok manusia berkumpul untuk memberikan manfaat kepadamu dengan sesuatu, maka mereka tidak akan mampu memberi manfat kepadamu kecuali dengan sesuatu yang telah ditakdirkan untukmu.
Dan jika mereka berkumpul untuk mencelakaimu dengan sesuatu maka mereka tidak akan mampu mencelakaimu kecuali dengan sesuatu yang telah ditakdirkan menimpamu.
Pena-pena (untuk menulis takdir) telah diangkat dan lembaran lembaran (untuk menulis takdir) sudah selesai ditulis.”
(Hadits Riwayat at Tirmidzi no. 2516, Ahmad 2669. Imam Tirmidzi mengatakan hadits ini hasan sahih)

 

Islam juga memiliki sistem yang sempurna yang menjamin terbentuknya kepribadian yang mulia baik di keluarga, sekolah maupun masyarakat. Keluarga bertanggung jawab membentuk kepribadian generasi, masyarakat menjadi pelaku muhasabah dan penguasa yang bertanggung jawab menerapkan syariat secara kaffah. Inilah sebaik-baik bentuk pemerintahan yang melindungi generasi dan menyiapkan mereka menjadi pemimpin peradaban. Ahfazhillaaha yahfazhka.

Please follow and like us:

Tentang Penulis