Harga Pangan Melejit, Baru Juga Masuk Ramadan

Oleh : Ariani

 

Lensa Media News—Hari Raya identik dengan kesenangan dan kebahagiaan. Bahkan, di zaman Nabi, kemeriahan itu pun sudah ada, meski masih terbatas. Setelah era Khilafah Bani Umayyah, kemeriahan mengisi Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha pun tampak semakin luar biasa. Bahkan, di zaman Khilafah ‘Abbasiyyah, istana negara telah melakukan tradisi open house.

 

Pada masa itu, perayaan dilakukan selama tiga hari yang diakhiri dengan menyantap beraneka ragam makanan halal yang disajikan. Ege Yayinlari dalam  Discover Islamic Art in the Mediterranean menyebutkan, para sultan Dinasti Mamluk (1250-1517 Masehi) di Mesir membagikan pakaian, hadiah, dan uang kepada masyarakat saat perayaan Idul Fitri.

 

Begitu indah gambaran perayaan Hari raya Idul fitri di masa kejayaan Islam. Rakyat tidak pusing tujuh keliling dalam menyiapkan perayaan hari raya. Para pemimpinnya merayakan bersama dengan para rakyatnya seperti yang digambarkan pada dinasti Mamluk di Mesir.

 

Dalam Islam, negara berkewajiban memenuhi semua kebutuhan pokok bagi rakyatnya, termasuk pangan. Dalam kondisi apapun terlebih di bulan Ramadan. Khalifah Umar bin Khaththab ra. pernah menulis surat kepada Abu Musa al Asy’ari, “Amma ba’du, sesungguhnya para pengurus yang paling bahagia di sisi Allah adalah orang yang membahagiakan rakyatnya. Sebaliknya, para pengurus yang paling sengsara adalah orang yang paling menyusahkan rakyat nya. Berhati-hatilah kamu agar tidak menyimpang sehingga para penguasa di bawahmu juga akan menyimpang” .

 

Berbeda sekali dibandingkan dengan masa sekarang di mana negeri-negeri kaum muslim yang telah tercerai berai setelah kepemimpinan tunggal Islam runtuh pada 1924, penguasanya menggunakan sistem sekuler kapitalistik, yaitu memisahkan agama dari kehidupan sehari-hari dengan menyerahkan kebebasan kendali ekonominya pada pihak swasta untuk mengambil keuntungan.

 

Pada sistem kapitalisme, pemerintah tidak bisa mengintervensi keseimbangan permintaan dan penawaran di pasar. Bahkan lebih parah, malah mengakibatkan kelangkaan produk karena ikut menetapkan harga, dan bukan membiarkannya pada mekanisme pasar. Hal yang demikian karena mekanisme harga ditentukan oleh para tengkulak atau mafia yang memiliki modal besar.

 

Hal ini sangat terasa dalam kehidupan umat Islam khususnya di Indonesia. Naiknya harga bahan pokok setiap menjelang Ramadan dan hari besar seakan menjadi tradisi memiskinkan rakyat secara sistematis.

 

Penerapan sistem kapitalisme membuat negara hanya sebagai regulator dan fasilitator, bukan sebagai pengelola urusan rakyat. Sementara operator utamanya adalah para korporat. Pada momen Ramadan, semakin banyak umat Islam memiliki semangat berbagi misal ifthar bersama, sahur on the road bahkan baksos ramadhan. Hal ini disambut para koorporat dengan menaikkan harga.

 

Saat permintaan cukup tinggi namun pasokan komoditas dari produsen (supply) kecil, maka akan terjadi kenaikan harga. Sementara, ketika permintaan pasar rendah dan supply dari produsen besar, maka harga akan menurun.

 

Kenaikan harga pangan juga disebabkan gaya hidup hedonis pada kaum muslim, yang menjadikan kesenangan merupakan tujuan hidup dan senang memamerkan kemewahan. Hal ini tampak dari trend ifthar di kafe atau resto mewah, tradisi ngabuburit dengan berburu aneka takjil, serta berbagi hampers. Semua ini ditangkap sebagai peluang meningkatkan harga pasar karena demand (permintaan) pasar meningkat.

 

Operasi pasar murah yang dilakukan sama sekali tidak efektif. Pemerintah lebih berperan pembuat regulasi untuk membayar pajak yang besar. Hasil dari pajak itulah yang rencananya akan digunakan untuk menyejahterakan rakyatnya walaupun faktanya digunakan untuk membayar bunga hutang.

 

Anggota Komisi XI DPR RI, Misbakhun menuturkan “Di RAPBN 2024 itu penerimaan pajak sekitar Rp1.900 T. Kalau bunga utangnya saja Rp500 T, plus pokok mungkin hampir Rp1000 T. Separuhnya penerimaan pajak kita itu dipakai untuk bayar utang. Bunga sama pokok 50 persen,” ( RMOL.id, 31/8/2023).

 

Dalam sistem ekonomi Islam, penguasa akan menghilangkan penyebab dinamika harga pangan, seperti penimbunan dan monopoli perdagangan. Dalam HR. Al- Hakim dan Al-Baihaqi, Abu Umamah al–bahili berkata “Rasulullah melarang penimbunan makanan.” Jika terjadi penimbunan, maka dia akan dipaksa mengeluarkan stok pangan dan memasarkannya. Pelakunya juga akan mendapat sanksi ta’zir.

 

Islam mensyariatkan para penguasa berperan sebagai penjamin kesejahteraan, melayani dan melindungi rakyat. Para penguasa itu memahami bahwa amanah kepada mereka akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Tidak rindukah kita pada pemimpin sekualitas itu? Wallahualam bissawab. [LM/ry].

Please follow and like us:

Tentang Penulis