Bullying Kian Marak, Tanda Krisisnya Pendidikan

Oleh: Annisa Nur Istiqomah

 Aktivis Dakwah Kampus

 

Lensa Media News—Belakangan ini, marak kasus perundungan atau bullying yang terjadi di sekolah-sekolah. Bahkan, sekelas pondok pesantren pun tak lepas dari fenomena tersebut. Seorang santri di Kediri meninggal dunia, diduga mengalami tindak kekerasan yang dilakukan oleh teman-temannya (BBCIndonesia.com, 29/02/2024). Sementara di Malang, seorang santri disetrika oleh seniornya pada bagian dada lantaran tersulut emosi (detik.com, 20/02/2024).

 

Kasus-kasus tersebut menambah panjang daftar jumlah kasus perundungan di Indonesia. Pada tahun 2023, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyampaikan bahwa jumlah kasus bullying yang dilaporkan meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 30 kasus dan 80% terjadi di sekolah yang dinaungi oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), sedangkan 20%-nya sekolah yang di bawahi Kementerian Agama.

 

Kasus bullying di sekolah menjadi dosa besar institusi pendidikan yang gagal mendidik para pelajarnya menjadi sosok yang beradab. Sebaliknya, kini perilaku pelajar semakin jauh dari sopan santun dan nilai-nilai moral.

 

Hal ini disebabkan sistem sekuler, yakni pemisahan agama dari kehidupan, menjangkiti seluruh pemikiran umat saat ini, sehingga mengambil nilai liberal (kebebasan) sebagai asas dalam bertingkah laku. Dengan demikian, sangat wajar jika fenomena yang marak, seperti bullying dalam institusi pendidikan, dapat mengantarkan pada kerusakan moral generasi.

 

Di era globalisasi, nilai-nilai kebebasan budaya Barat semakin masif dipropagandakan, melalui berbagai media sosial dan hiburan sebagai pemenuhan kesenangan pribadi. Game online yang erat dengan unsur-unsur kekerasan didalamnya, menjadi salah satu faktor penyebab tindak kekerasan di kalangan remaja. Usia remaja yang belum stabil dalam mengatur emosi, sangat mudah terpengaruh informasi negatif yang dikonsumsinya. Ditambah, ketiadaan peran utama keluarga dalam mendidik generasi.

 

Pondok pesantren yang dipercaya umat sebagai sebuah institusi yang dapat memberikan pendidikan agama dan adab pada anak dibanding pendidikan konvensional, berubah menjadi sarang tindak kekerasan dan pencabulan. Mirisnya, hal tersebut tidak hanya dilakukan oleh santri, tetapi juga para gurunya.

 

Padahal tujuan pendidikan dalam Islam adalah membentuk kepribadian yang bertakwa pada setiap individu, bukan yang gemar melakukan kekerasan dan bersikap agresif.

 

Keluarga sebagai institusi terkecil pendidikan, melalui peran Ibu sebagai Madrasatul Ula, menjadi sosok yang krusial dalam mendidik generasi perihal ilmu agama dan hal ini sangat mempengaruhi kehidupan individu ketika di luar rumah. Masyarakat juga berperan penting dalam melakukan amar ma’ruf nahi munkar di tengah kehidupan, sehingga menunjukkan bentuk kepedulian mereka terhadap satu sama lain.

 

Namun, terwujudnya fungsi pendidikan, keluarga, dan masyarakat tersebut hanya dapat dijalankan jika negara juga menerapkan Islam dalam setiap kebijakannya. Karena, negara memiliki kuasa dalam menjamin secara langsung penerapan hukum Islam, mencegah dan menindak secara tegas atas penyimpangan yang terjadi, termasuk bullying.

 

Dengan demikian, kelangsungan moral generasi juga menjadi tanggung jawab negara sebagai sesuatu yang harus diperhatikan. Sebab, generasi inilah yang kelak akan memimpin bangsa. Sebagaimana kutipan Al-Mawardi dalam kitabnya, Adabun Dunya wad Din, “untuk mengancurkan suatu bangsa dan negara adalah dengan mengancurkan akhlak (moral) generasi mudanya.” Wallahualam bissawab. [LM/ry].

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis