Ramadan Berkah dengan Islam Kaffah


Oleh: Nining Sarimanah

 

 

LenSa MediaNews__Kajian rutin bulanan yang diselenggarakan oleh Majelis Taklim Nurul Qur’an, kembali digelar pada 3 Maret 2024 di Masjid Al-Islam, Cijerah, Kota Bandung. Puluhan peserta memasuki masjid. Tema yang diangkat kali ini adalah ‘Ramadan Berkah dengan Islam Kaffah’.

 

 

Tepat pukul 09.00 WIB, Ibu Wina, sebagai moderator memandu acara. Diawali dengan doa pembuka majelis dan sapaan hangat kepada para jamaah. Acara dilanjutkan dengan pembacaan ayat suci Al-Qur’an, surah Al-Baqarah ayat 183 oleh Ibu Sumiyati. Selang beberapa menit kemudian, tibalah pada acara inti yaitu pemaparan materi oleh Umi Iis Nur’aeni Afgandi dan Teh Nining Sarimanah.

 

 

Umi Iis mengawali kajiannya dengan membahas tafsir Ibnu katsir surah Al-Baqarah ayat 183, bahwa Allah menyeru orang-orang beriman untuk melaksanakan puasa. Puasa memiliki makna menahan diri dari makan, minum, bersetubuh dengan niat yang tulus karena Allah Swt. Karena puasa mengandung penyucian, pembersihan, dan penjernihan diri dari kebiasaan-kebiasaan yang jelek dan akhlak tercela. Tak hanya itu, Allah menyebutkan dalam ayat ini, puasa telah diwajibkan kepada orang-orang sebelum mereka. Karena di dalamnya, ada suri tauladan bagi mereka dan hendaklah mereka bersungguh-sungguh menjalankan ibadah puasa ini dengan lebih sempurna daripada yang telah dijalankan oleh orang-orang sebelum mereka.

 

 

Ramadan tinggal menghitung hari, karenanya perlu ada persiapan baik lahir maupun ruhiyah. Persiapan lahir dilakukan dengan melatih diri berpuasa di bulan Rajab dan Sya’ban agar tubuh dapat beradaptasi dengan baik secara bertahap dan mempersiapkan tubuh agar tetap sehat dengan terpenuhinya asupan bernutrisi. Adapun persiapan ruhiyah yaitu, menanamkan kegembiraan dalam hati dan pikiran, serta pembekalan diri dengan pemahaman Islam agar ketika Ramadan tiba, ibadah yang dilakukan tidak sekadar rutinitas, tetapi atas dasar iman dan takwa sehingga selepas Ramadan keterikatan pada hukum syarak tetap terjaga.

 

 

Ramadan sangat dinanti oleh seluruh umat Islam di dunia tak terkecuali muslim di Indonesia. Bukan, karena tersedianya aneka makanan lezat saat berbuka atau baju baru pada hari Raya Idulfitri, tetapi ada banyak keutamaan bulan Ramadan yang luar biasa, sehingga jika disia-siakan sangat rugi. Keutamaan itu di antaranya, pengampunan dosa, semua kebaikan dilipatgandakan, derajat kaum mukminin ditinggikan, Allah Swt. membebaskan banyak jiwa dari api neraka, pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup rapat, setan dibelenggu, dan ada satu malam (lailatul qodar) yang lebih utama dari seribu bulan, masyaa Allah.

 

 

Adapun pembicara kedua, Teh Nining membahas terkait suasana Ramadan ketika syariat Islam diterapkan secara totalitas. Di mana bulan Ramadan dengan segala keutamaan dan keberkahannya mendorong kaum muslimin pada masa Rasulullah hingga masa kekhilafahan Utsamaniyah untuk menyemarakan Ramadan dengan berbagai ibadah dan amal salih. Terlebih, masa Rasulullah selain diisi dengan ibadah, juga pengorbanan dan perjuangan dalam melaksanakan jihad seperti perang Badar terjadi pada 17 Ramadan tahun ke-2 Hijriah, perang khandak, perang tabuk, dan fathu Makkah pada 10 Ramadan tahun ke-8 Hijriah.

 

 

Demikian juga pada masa Khulafaur Rasyidin, suasana Ramadan dengan aktivitas ibadah sangat terasa di antaranya ketika Umar bin Khaththab menjadi khalifah, beliau mengirimkan surat kepada para wali agar mereka melaksanakan salat tarawih secara berjamaah di masjid, menyalakan pelita di masjid sepanjang malam pada bulan Ramadhan, menyediakan makanan untuk berbuka puasa bagi orang yang berbuka, dan membangun sebuah rumah untuk tamu, orang yang kehabisan bekal makanan dalam perjalanan, serta orang-orang yang memerlukan.

 

 

Adapun pada masa kekhilafahan Utsmaniyah, Sultan pada masa itu, mengundang para duta besar negara-negara lain ke istana dalam rangka menyampaikan ucapan selamat atas datangnya bulan mulia, menyediakan makanan untuk berbuka dan salat tarawih bersama rakyat, jalan-jalan dipasang lampu berbagai warna menambah semarak Ramadan, dan sebagainya.

 

 

Namun, Ramadan saat ini berbeda. Sejak institusi Islam (khilafah) diruntuhkan pada 3 Maret 1924 oleh Mustafa Kemal Ataturk, Ramadan tidak lagi semarak. Aktivitas ibadah dan amal kebaikan lainnya hanya dilakukan oleh individu rakyat, tanpa ada peran negara sehingga suasana keimanan tidak begitu dirasakan. Di sisi lain, umat Islam terpecah menjadi lima puluh lebih negara kecil yang diikat dengan paham nasionalisme yang menyebabkan persatuan kaum muslim tidak tampak. Kondisi di negeri kita pun tidak jauh berbeda, berbagai persoalan masih membelit bangsa ini seperti kemiskinan, kriminalitas, harga bahan pokok melambung, pengangguran, dan lainnya.

 

 

Semua itu, akibat dari diterapkannya sistem sekuler kapitalisme. Sistem ini menjadikan individu keluarga muslim jauh dari Islam, lemahnya kontrol masyarakat, akidah umat Islam tidak terjaga, dan keterpurukan di setiap lini kehidupan. Karena itu, harus ada solusi sistemis dengan kembali kepada syariat Islam secara kaffah sebagai bentuk ketakwaan hakiki. Telah terbukti, ketika syariat Islam ditegakkan dalam bentuk khilafah kehidupan kaum muslimin sejahtera, aman, dan dilindungi. Bahkan, pada saat itu, khilafah menjadi negara super power yang disegani oleh negara kafir. Wilayah kekuasan Islam meliputi 2/3 dunia dan berjaya selama 13 abad lamanya.
Wallahu a’lam bishshawab

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis