Lensamedianews.com, Opini – Setelah harga beras semakin meninggi, pun dikabarkan akan adanya kenaikan tarif daya listrik. Namun bulan Desember 2023 Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Jisman P. Hutajulu menegaskan bahwa “Tarif listrik Januari sampai Maret 2024 diputuskan tetap untuk menjaga daya saing pelaku usaha, menjaga daya beli masyarakat, dan menjaga tingkat inflasi di tahun yang baru”.
Penetapan tarif listrik ini bersamaan dengan keluarnya pengumaman tarif listrik triwulan I pada Januari – Maret 2024. Kebijakan PT Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk tidak mengubah tarif listrik pada Januari – Maret 2024 berlaku bagi 13 pelanggan nonsubsidi dan 25 golongan pelanggan bersubsidi. Penetapan tarif listrik Januari – Maret 2024 sesuai dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 8/2023. Sehingga ada beberapa pertimbangan tidak terjadinya kenaikan seperti kenaikan nilai kurs dollar AS, inflasi, Indonesia Crude Price, dan harga batu bara acuan.
Namun dalam Permen ESDM tersebut pemerintah tidak menjamin adanya penurunan setelah tiga bulan tidak adanya kenaikan. Sehingga kemungkinan setelah bulan Juni 2024 nanti akan adanya kenaikan tarif daya listrik (TDL). Apalagi jika dikaitkan dengan defisit APBN yang disinggung Menko Perekonomian. Pernyataan itu seolah menyiratkan, jika tidak menaikkan TDL, APBN akan terbebani sehingga masyarakat harus mengerti andai kata pemerintah memutuskan menaikkan TDL yang katanya demi mengurangi defisit APBN.
Inilah dampak dari sistem kapitalisme di bidang sumber energi listrik yang seharusnya milik negara tetapi malah dikuasai oleh swasta. Pada 2023 saja, kebutuhan batu bara mencapai 161,2 juta ton, terdiri dari 83 juta ton untuk kebutuhan PLTU milik PLN dan 78,2 juta ton untuk PLTU milik swasta (independent power producer/ IPP) di seluruh Indonesia. Kondisi ini membuat PLN harus memutar otak untuk mendapatkan pasokan batu bara dalam memenuhi kebutuhan tersebut.
Kita punya sumber energi listrik, tetapi malah dikuasai swasta. Pada akhirnya, negara harus membeli batu bara yang sudah menjadi milik hak swasta untuk memenuhi pasokan listrik dalam negeri. Jika seperti ini, mustahil tarif listrik bisa murah.
Jika nantinya tarif listrik naik jelas akan nambah beban rakyat apalagi ditengah naiknya harga pangan dan adanya PHK secara besar-besaran. Sehingga kehidupan rakyat akan semakin sulit. Lalu bagaimana peran negara sebagai pelindung rakyat? Rakyat akan lari ke mana jika ini terjadi?
Jika tarif listrik, BBM, dan bahan pangan harganya murah, serta kesehatan dan pendidikan terjamin secara gratis, rakyat tidak perlu capek ke sana kemari mencari nafkah demi memenuhi kebutuhan pokok tersebut.
Dalam Islam, listrik merupakan harta kepemilikan umum yang dimana dikelola oleh negara. Rasulullah ﷺ bersabda, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara, yakni padang rumput, air, dan api.”(HR Abu Dawud dan Ahmad).
Listrik menghasilkan aliran energi panas (api) yang dapat menyalakan barang elektronik. Dalam hal ini, listrik termasuk kategori “api” yang disebutkan dalam hadis tersebut.
Dengan hal ini untuk memenuhi kebutuhan listrik, negara dengan sistem Islam secara kaffah bisa menempuh beberapa kebijakan, yakni (1) membangun sarana dan fasilitas pembangkit listrik yang memadai, (2) melakukan eksplorasi bahan bakar listrik secara mandiri, (3) mendistribusikan pasokan listrik kepada rakyat dengan harga murah, (4) mengambil keuntungan pengelolaan sumber energi listrik atau lainnya untuk memenuhi kebutuhan rakyat yang lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, sandang, pangan, dan papan. Wallahu a’lam bishshawab.[LM/Ah]