Oleh: Nur Illah Kiftiah Khaerani 
(Guru di Bandung)

 

Lensamedianews.com, Opini Seorang calon anggota legislatif DPRD Kab. Subang, Jawa Barat, membongkar jalan dan gorong-gorong yang sebelumnya ia bangun. Hal ini dilakukan karena ia mengalami kekalahan pemilu 2024 ini. Caleg yang diketahui bernama Ahmad Rizal itu bersama dengan pendukungnya menyalakan petasan di menara masjid di Tegal Koneng, Subang. Aksi teror petasan ini dilakukan siang dan malam di sejumlah titik yang perolehan suaranya anjlok. Hal ini ia lakukan karena kesal atas kekalahannya. Warga pun menyesalkan aksi tidak terpuji caleg gagal tersebut, apalagi jalan yang dibongkar tersebut dibangun menggunakan anggaran pemerintah bukan dana pribadinya. (Oke News).

Dari fakta di atas kita bisa melihat bahwa berbagai fenomena yang dialami para caleg dan pendukungnya yang kecewa. Mulai dari yang menderita stres, bahkan bunuh diri, hingga menarik kembali “pemberian” pada masyarakat. Ini menggambarkan lemahnya kondisi mental mereka sehingga hanya siap menang dan tidak siap kalah ketika suaranya diperoleh sedikit. Serta menggambarkan betapa jabatan menjadi sesuatu yang sangat diharapkan, mengingat keuntungan yang akan didapatkan. Sehingga rela “membeli suara” rakyat dengan modal yang besar, dengan pamrih mendapat suara rakyat.
Di sisi lain pun menggambarkan betapa model pemilu ini adalah pemilu yang berbiaya tinggi. Demi untuk memperoleh suara rakyat, para caleg rela merogoh kocek dalam-dalam. Ada yang menjual tanah, rumah, mobil, bahkan ada yang berutang karena kehabisan modal. Ketika semua itu sudah mereka lakukan demi mendapatkan jabatan namun gagal, seolah-olah dunia hancur. Akibatnya mereka mengalami depresi bahkan sampai gila.
Inilah gambaran orang-orang yang gila jabatan di dalam sistem kapitalisme. Mereka memandang jabatan ala kapitalisme merupakan tiket emas untuk memperoleh keuntungan materi.
Maka rakyat paham bahwa dalam demokrasi kapitalisme, para pejabat akan mendadak kaya karena jabatannya. Sehingga mereka menganggap wajar jika rakyat juga berhak mendapatkan uang atas suara yang diberikannya. Inilah kesalahan pandangan terhadap jabatan di tengah masyarakat, karena prinsip sekularisme yang telah menancap kuat di tengah masyarakat.
Dalam hal ini Islam memandang bahwa jabatan adalah amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Sebagaimana di dalam HR. Muslim, Abu Dzar berkata, “Wahai Rasulullah saw. tidakkah engkau menjadikanku seorang pemimpin?” Lalu Rasulullah saw. memukulkan tangannya di bahuku dan bersabda, “Wahai Abu Dzar, sesungguhnya engkau lemah, dan sesungguhnya hal ini adalah amanah, ia merupakan kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambilnya dengan haknya, dan menunaikannya dengan sebaik-baiknya.”
 
Hadis di atas menjelaskan bahwa jabatan adalah amanah, orang yang memegang jabatan sejatinya memikul amanah berat yang harus ia pertanggungjawabkan sesuai dengan syariat Allah SWT. Jika ia berlaku adil sesuai ketetapan Allah SWT, ia akan beruntung. Sebaliknya jika berlaku zalim, ia akan menyesal di akhirat.
Oleh karenanya ketakwaan menjadi syarat mutlak bagi para pejabat di dalam Islam. Hanya orang yang bertakwalah boleh menjadi pemimpin sebagai pelaksanaan urusan umat dengan rasa takut kepada Allah. Sehingga tidak akan mencari keuntungan pribadi di dalam jabatannya. Sedangkan orang-orang zalim dan fasik tidak boleh menjadi pejabat.
Adapun pemilu dalam Islam, telah menentukan bahwa rakyat memiliki wewenang untuk memilih pemimpin negara maupun perwakilan rakyat yang duduk di majelis umat. Serta mekanismenya bersifat sederhana, praktis, tidak berbiaya tinggi, dan penuh kejujuran, tanpa tipuan ataupun janji-janji. Para calon pun memiliki kepribadian Islam dan hanya mengharap keridaan Allah semata.
Wallahu a’lam bishshawab. [LM/Ah]
Please follow and like us:

Tentang Penulis