Ketika Caleg Gagal, Saatnya Meminta Kembali Modal?

Oleh: Ummu Zhafran
(Pegiat literasi)

 

LenSa MediaNews__Ketimbang stres, lebih baik meminta kembali. Mungkin itu pikiran yang terbetik dalam benak sebagian calon legislatif yang gagal kali ini. Seperti yang diberitakan berbagai laman berita daring, beberapa timses dari Caleg tertentu yang kecewa di sejumlah daerah mulai bergerak mengambil kembali amplop yang telah dibagikan sebelumnya. Bahkan ada yang membongkar kembali jalan yang dibiayai pembangunannya. (tvonenews.com, 18-2-2024)

 

 

Bila dipikir lebih jauh, logis saja apa yang dilakukan tim sukses yang mewakili para Caleg. Hanya saja langsung mau pun tidak langsung, hal tersebut seolah membenarkan terjadinya transaksi politik seperti yang disinyalir para pengamat. Bahkan seperti sudah menjadi rahasia umum di tengah masyarakat, siapa membayar lebih tinggi, berhak untuk dipilih. Miris.

 

 

Serangan fajar, uang peluncur mau pun istilah kerennya seperti “money politic” sudah lama akrab di telinga publik. Hal tersebut terbukti nyata, bukan sekedar “omon-omon.” Inilah wajah demokrasi yang hakiki di negeri ini. Tingginya ongkos politik yang harus dibayar demi lolos kontestasi adalah fakta yang tak bisa disangkal, sekuat apa pun upaya menutupinya. Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat bahkan sempat membocorkan alokasi dana untuk lolos menjadi anggota legislatif tingkat nasional minimal tembus di angka 5 miliar. (radarsukabumi.com, 4-9-2023)

 

 

Nyata. Betapa untuk menjadi pemimpin atau berada di jajaran penguasa di negeri ini harus menempuh jalan berliku. Sudah bisa dibayangkan bagi para pemilik harta berlimpah, oligarki beserta anak keturunannya tentu bisa melenggang dengan mudah. Namun sebaliknya bagi yang terjun kontestasi hanya bermodal nekat, minus modal dan minim popularitas, maka kecil kemungkinan bisa terpilih mau pun dipilih.

 

 

Apa hendak dikata, demokrasi yang merupakan anak kandung kapitalisme memang menetapkan standar bahagia dan mulia ada pada materi. Seseorang baru dipandang ketika tampak ada apanya, bukan apa adanya. Jauh berbeda dengan Islam. Sebagai agama yang dianut mayoritas penduduk, Islam sudah tentu layak diperhitungkan.

 

Keistimewaannya tak terbantahkan. Selain karena diturunkan Allah SWT kepada penutup para Nabi, Muhammad saw., juga tolok ukur kebahagiaan ada pada rida Allah SWT. Keimanan dan ketaatan yang sempurna terhadap syariat-Nya jelas merupakan jalan untuk meraih hal tersebut.

 

Firman Allah SWT,
Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (QS Ali Imran: 102)

 

 

Abdullah Ibnu Mas’ud ra. menceritakan bahwa ketika Rasulullah saw. membaca ayat di atas, Beliau lanjut menafsirkannya, bahwa Allah hendaknya ditaati, terlarang untuk durhaka, bersyukur atas segala nikmat serta selalu ingat kepada-Nya. (Tafsir Ibnu Katsir)

 

 

Terkait soal pemimpin, Islam sudah pula mengaturnya. Dalam kitab As-Siyâsah asy-Syar’iyyah, Imam Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa kekuasaan memiliki dua kriteria utama, yaitu kekuatan (al-quwwah) dan amanah (al-amanah). Maksud dari al-quwwah adalah kemampuan dalam menerapkan syariat. Adapun amanah, direfleksikan pada takut kepada Allah SWT tidak menjual ayat-ayat-Nya dengan harga murah, dan tidak pernah gentar terhadap manusia.

 

 

Lebih jauh, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani, ulama mujtahid mutlak juga menyatakan bahwa seorang pemimpin atau aparat negara harus memiliki tiga kriteria penting, yaitu Alquwwah (kekuatan), At-taqwa (ketakwaan), dan Ar-rifq bi ar-ra’iyyah (lembut terhadap rakyat).

 

 

Dari kedua ulama di atas, tidak satu pun yang mensyaratkan punya banyak harta. Melainkan keduanya sepakat ketakwaan merupakan syarat utama. Sebab kekuasaan dalam Islam ditujukan untuk menegakkan hukum Allah SWT dan amar makruf nahi munkar.

 

 

Dari sini terlihat kriteria pemimpin ideal serta mekanisme pemilihannya secara baiat dalam Islam tidak hanya efektif dan efisien, tetapi juga menutup peluang lahirnya aktivitas transaksi politik (baca: suap), kediktatoran, kesewenang-wenangan, dan dominasi oligarki atas kepentingan masyarakat luas.

 

 

Akhir kata, para calon pemimpin dalam Islam adalah mereka yang taat kepada Allah SWT karena menyadari tujuan segala aktivitasnya semata untuk mencari rida-Nya. Termasuk di dalamnya menjauhi segala perbuatan yang diharamkan Allah, salah satunya tentu risywah alias suap. Sangat tegas peringatan Rasulullah saw.
Laknat Allah SWT kepada pemberi suap dan penerima suap.” (HR Ahmad)

Wallahua’lam.

Please follow and like us:

Tentang Penulis