Banjir: Dampak Pembangunan Kapitalistik
Oleh: Shafiyyah Al Khansa
Lensamedianews.com, Opini – Banjir masih terus melanda negeri bahkan semakin meluas. Baru-baru ini banjir bandang juga melanda beberapa wilayah di daerah Demak Kudus akibat jebolnya tanggul Sungai Wulan di perbatasan Demak dan Kudus hingga berdampak pada 71.000 warga dikarenakan rumah mereka terendam. Sekitar 35 desa dari tujuh kecamatan terdampak banjir terparah di Desa Karanganyar, Demak karena ketinggian air nyaris mencapai atap rumah (10/24).
Meskipun telah dilakukan berbagai upaya pengendalian banjir, seperti dilakukannya perbaikan penampang pada daerah aliran sungai dan tanggul, namun upaya tersebut belum sepenuhnya menjadi solusi yang efektif dalam mencegah banjir besar seperti yang sedang terjadi pada awal Februari 2024 ini.
Banyak faktor yang menjadi penyebab banjir kali ini mulai dari tingginya curah hujan yang merupakan bagian dari fenomena alam yang tidak bisa dikendalikan oleh manusia hingga masifnya alih fungsi lahan yang saat ini terjadi akibat perlakuan manusia terhadap alam. Alih fungsi lahan yang terjadi masif di daerah hulu negeri-negeri ini tentu sangat mempengaruhi fungsi alam, sebab adanya penggundulan hutan di daerah hulu dapat menghilangkan fungsi hutan sebagai penyangga ekosistem. Atau dengan kata lain keberadaan hutan merupakan daerah resapan yang dapat melakukan pencegahan terhadap banjir.
Badan Informasi Geospasial (BIG) luas hutan di Indonesia pada tahun 2022 lalu mencapai 102,53 juta hektare (ha), angka tersebut mengalami pengurangan hingga 0,7% dibanding 2018.
Masifnya alih fungsi lahan hari ini tentu tidak lepas dari kebijakan pembangunan kapitalistik. Penerapan sistem kapitalisme saat ini meniscayakan pemerintah berpihak pada kepentingan para pemilik modal. Lebih dari itu pemerintah juga dikendalikan oleh kepentingan segelintir pengusaha untuk melahirkan sebuah kebijakan yang akan semakin memudahkan bisnis mereka, salah satunya adalah adanya kemudahan untuk mendapatkan perizinan dalam pengelolaan lahan.
Pembangunan ala kapitalistik hari ini tentu sarat dengan pengabaian terhadap dampak pada kehidupan manusia termasuk ekosistem alam, karena arah dan tujuan dari pembangunan kapitalistik adalah peraupan materi. Berbeda dengan Islam dalam negara Khilafah yang mendudukan penguasa sebagai pengurus rakyat. Rasulullah saw. bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari).
Dalam Islam, alam wajib dilestarikan dan dijaga, sekalipun alam dikelola oleh manusia hal ini diberi batasan agar tidak merusak ekosistem alam. Dalam Khilafah kebijakan pembangunan yang ramah lingkungan dan menjaga keselamatan serta ketenteraman. Selain itu dalam konsep ekonomi Islam hutan merupakan kepemilikan umum yang dikelola untuk kemaslahatan hutan.
Negara dalam Islam akan menetapkan sebagian wilayah hutan sebagai hima (wilayah konservasi) untuk tetap menjaga fungsi ekologisnya, selain itu Islam juga melarang pengelolaan hutan yang diserahkan kepada swasta. Khilafah juga akan melakukan beberapa upaya untuk mencegah banjir seperti membangun infrastruktur terbaik untuk mencegah banjir, tim badan khusus untuk bencana alam, serta edukasi terhadap masyarakat tentang pentingnya kebersihan dan menjaga lingkungan. Sehingga akan terwujud masyarakat yang sejahtera, aman, dan tentram bagi seluruh rakyat. Wallahu a’lam. [LM/Ah]