Baliku Kini Tak Seindah Dulu

Oleh: Tri Ayuning
Lensamedianews.com, Opini – Bali senantiasa menjadi sorotan dunia. Salah satu ikon destinasi wisata Internasional ini tak pernah absen di tiap tahunnya dari kedatangan wisatawan mancanegara. Entah itu yang hendak melakukan perjalanan bisnis atau sekadar berlibur menikmati keeksotisan panorama alam sekaligus hiburannya.
Di balik keeksotisannya, ternyata Bali juga punya permasalahan di setiap celahnya. Sebutlah problem sampah yang semakin pelik. Usai viral di sosial media, ada seorang influencer asing yang menceritakan kekecewaannya terhadap Bali. Dalam kunjungannya ke Bali, apa yang dia saksikan tak sesuai ekspektasi sebelum ke Bali. Dia dan sederet influencer mancanegara lainnya menyebutkan kekecewaannya, di antaranya pantai Kuta tak seindah yang digambarkan, perjalanan yang macet, sampah di mana-mana.
Bali hari ini memang berbeda dengan Bali yang 20 atau 30 tahun lalu. Sebagai gerbang ekonomi di sektor pariwisata, maka seluruh pembangunan di genjot habis-habisan, baik infrastruktur maupun fasilitas-fasilitas lainnya yang bisa dinikmati para wisatawan. Bali pun ditarget setiap tahunnya agar mampu mendatangkan 6-7 juta wisatawan, baik domestik apalagi mancanegara. Bahkan di tahun 2024, pemerintah menaikkan target itu menjadi 12 juta wisatawan secara nasional, dan 5,5 juta – 7,5 jutanya ke Bali (m.bisnis.com, 3/1/2024).
Dengan begitu cuan akan terus mengaliri pundi-pundi kas negara dan daerah. Corak kehidupan masyarakat liberal kapitalis yang konsumtif, seakan-akan menjadikan roda perekonomian Bali mampu berputar ketimbang daerah lainnya. Padahal dengan begitu Bali menghasilkan problem sampah yang hari ini cukup sulit diatasi. Bayangkan saja, mengutip dari databoks.katadata.co.id (18/10/2022), KLHK menunjukkan bahwa secara rata-rata ada sekitar 2,81 ribu ton timbulan sampah per hari yang dihasilkan Provinsi Bali sepanjang 2022. Kota Denpasar menyumbang angka wahid untuk sampah ini, yakni di angka 866,61 ton/hari atau 316,13 ribu ton/tahun, setara dengan 30,78% dari total volume timbulan sampah di Provinsi Bali.
Dari data timbulan sampah ini membuktikan bahwa masyarakat Bali masih konsumtif dan kurang peduli lingkungan. Meski pemerintah Provinsi Bali sudah menerapkan zero waste dengan gerakan no plastic di pusat perbelanjaan, namun nyatanya sampah plastik tetap mendominasi.
Masyarakat masih terbiasa hidup dan berinteraksi dengan pemikiran liberal kapitalis, ditambah dengan datangnya para wisman yang memang seperti itu hidupnya, yang apa-apa serba bebas, merasa menjadi tamu, ingin dihormati tanpa mau direpotkan. Begitu pula gaya hidup hedon para wisman yang menjadikan masyarakat Bali semakin apatis, baik terhadap kondisi sosial masyarakat apalagi terhadap lingkungan. Mereka hanya menginginkan menikmati tanpa harus repot menjaga dan melestarikan. Hidup instan seakan diharuskan bukan sekedar pilihan.
Pembangunan industri wisata di Bali yang gila-gilaan, sebenarnya tidak menguntungkan bagi kelangsungan keasrian Bali itu sendiri.  Memang betul industri wisata akan menghidupkan roda perekonomian masyarakat, tetapi lebih spesifiknya masyarakat yang mana?  Apakah mereka yang hanya berjualan suvenir aksesoris jalanan atau justru para investor? Coba kita lihat baik-baik ada di posisi mana rakyat kita, menjadi investor atau penjual suvenir jalanan?
Efek sampah saja bisa menyumbang 25 kali lipat pemanasan global dari karbondioksida, belum lagi dengan air tanah yang pasti ikut tercemar. Itukah yang akan kita wariskan pada generasi 20 tahun mendatang? Over wisatawan dan sampah merupakan sepaket dampak kerakusan sistem kapitalisme dalam mengelola sektor wisata negeri ini. Bagi mereka, tujuan apa pun mampu menghalalkan segala cara, selama masih berpotensi menghasilkan cuan maka akan terus dikerok sampai titik penghabisan. Kita belum berbicara dampak sosial, perilaku amoral, dan sebagainya. Kita baru membicarakan seputar masalah sampah yang tidak lepas dari pengaruh kehidupan liberal kapitalis dan kebijakan negara yang terkesan rakus.
Berbeda ketika Islam memandang kehidupan ini, asas perekonomian Islam tidak bersifat eksploitatif. Islam justru mewajibkan manusia menjaga alam. Sebagaimana dalam sebuah hadis disebutkan dari Anas ra. bahwa Nabi Muhammad saw. bersabda: “Tidak seorang pun muslim yang menanam tumbuhan atau bercocok tanam, kemudian buahnya dimakan oleh burung atau manusia atau binatang ternak, kecuali yang dimakan itu akan bernilai sedekah untuknya.” (HR Bukhari).
Islam juga melarang merusak alam dan lingkungan sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Al-Baqarah: 205 yang artinya, “Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan”.
Sayangnya, apa yang telah Islam tetapkan ini tak lebih hanya dianggap imbauan. Karena negara ini bukan negara yang menerapkan syariat Islam. Sudah selayaknya bagi seorang muslim berbenah diri dan menyeru masyarakat untuk mau kembali pada pengaturan Islam. Wallahu a’lam bishshawab. [LM/ Ah]
Please follow and like us:

Tentang Penulis