Musyawarah Para Ahli Hikmah, Ciri Majelis Syura (Neraca Sila Keempat Pancasila, Pendekatan Syariah ataukah Demokrasi)

Oleh: Ibnu Rusdi

(Pemerhati Sosial dan Politik)

 

LenSa MediaNews__Filosofi “Kepemimpinan” dalam amanah Pancasila dinisbatkan pada berlakunya “Hikmah”. Sumber kata hikmah berasal dari kosakata Arab. Selain bermakna: jalan Rasulullah, konteks hikmah mengacu pada makna: pemahaman perihal baik-buruk bersumberkan pesan-pesan agama”. Ahli Hikmah berarti orang yang memahami ajaran agama dengan baik.

 

Bisa dirujuk salah satu makna hikmah dari terjemah ayat ini: “Allah menganugerahkan al-hikmah (pemahaman yang dalam, tentang Al-Qur’an dan As-sunnah) kepada siapa yang Dia kehendaki. Dan barangsiapa yang dianugerahi al-hikmah itu, dia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. Dan hanya orang-orang berakallah yang dapat mengambil pelajaran.” (TQS al-Baqarah 2 : 269 –– “Al Qur’an dan Terjemahnya”. 2001. Madinah: Mujamma’ al-Malik Fahd Li Thiba’at al-Mushhaf asy-Syarif).

 

Implementasi penguasa-penguasa muslim sepanjang sejarah peradaban Islam menyajikan fakta ini. Di sekeliling mereka ada sekelompok para faqih fiddin. Bermula dari fragmen kota Madinah, ketika Rasulullah saw senantiasa melakukan musyawarah dalam menjalankan pemerintahan Islam, menjadi parameter mereka.

 

 

Al-Qur’an telah lebih dari mencukupi sebagai konsepsi. Akan tetapi, penerapan berkenaan bagaimana perintah itu dilakukan, membutuhkan penggalian aspirasi. Ada sahabat-sahabat khusus yang lebih banyak diambil pendapatnya oleh Kanjeng Nabi saw dibandingkan sahabat-sahabat yang lainnya. Mereka adalah Abu Bakar, Umar, Hamzah, Ali, Salman al-Farisi, Hudzaifah dan beberapa yang lain. (Hizbut Tahrir, “Struktur Negara Khilafah”. 2005, Edisi Terjemah).

 

 

Begitupun Abu Bakar sepanjang diberi mandat kekuasaan di awal masa kekhilafahan. Jika menghadapi persoalan, beliau biasa memanggil para pemikir dan ahli fikih dari Muhajirin dan Anshar. Umar, Utsman, Ali, Abdurrahman bin Auf, Muadz bin Jabal, Ubay bin Kaab, dan Zaid bin Tsabit, mereka itulah yang biasa memberikan fatwa pada masa Khalifah Abu Bakar.

 

 

Orang-orang khusus yang dimintai masukan dan diharapkan kontrolnya atas kebijakan penguasa adalah Ahlu Syura. Sepanjang 13 abad era kekhilafahan, Ahlu Syura merupakan para cendekia yang merepresentasikan keterwakilan umat dalam posisi sebagai rambu dan perisai. Memberikan fatwa dan koreksi agar pemerintahan senantiasa di atas rel Syariah.

 

 

Dengan demikian, kita menjadi paham, mengapa para foundhing Fathers Nusantara menetapkan filosofi ini. Sebagian besar dari mereka adalah para ulama. Pilihan kata “Hikmah” dalam melahirkan putusan kepemimpinan tentu bukan tanpa kematangan pertimbangan, terutama standar ajaran Islam.

 

 

Amanah tersebut tertuang dalam Sila Keempat dari Pancasila. Teksnya berbunyi: “Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/ perwakilan”. Terdapat tiga pesan pokok yang diisyaratkan oleh filosofi kepemimpinan hikmat (hikmah) ini. Di antaranya:

 

Pertama, Kepemimpinan atas seluruh rakyat dijalankan dari hasil musyawarah para ahli hikmah. Perkara-perkara yang dimusyarahkan di antara mereka tentu saja dengan standar “hikmah”. Yakni, konsepsi yang diwariskan oleh Baginda Nabi saw.

 

 

Kedua, Orang-orang yang ditunjuk atau dipilih sebagai anggota badan musyawarah (Dewan Syura) terdiri dari para ulama. Merekalah sejatinya yang lebih besar ikhtiarnya dalam mendalami persoalan kehidupan. Juga lebih kuat pemahamannya terhadap urusan agama maupun urusan dunia.

 

 

Ketiga, Keputusan hukum diambil bukan dengan suara terbanyak. Dalam tradisi para ahli hikmah, keputusan dipilih melalui proses tarjih. Mendengarkan berbagai pandangan argumentatif dari para ulama. Kemudian dilakukan penelusuran hingga menghasilkan mufakat berupa terpilihnya pesan yang paling rajih. Dalil-dalil paling kuat dibandingkan yang lain.

 

 

Demikianlah pendekatan filosofis dari makna “hikmah” sebagai parameter kebijaksanaan untuk pengaturan masyarakat. Bersandar dari karakter universalitas Islam dan kerahmatan ajarannya bagi seluruh alam.

 

 

Sementara para ulama berada pada garda terdepan menapaki proses perundangan ini. Selanjutnya terus di garda terdepan dalam mengawal kekuasaan tetap berjalan dengan benar. Mewujudkan berkahnya kehidupan bernegara, di atas ekspresi taat kepadaNya!

Please follow and like us:

Tentang Penulis