Euforia Pesta Demokrasi Rentan Gangguan Mental?

Oleh: Sulistyowati
Lensamedianews.com, Opini – Sejumlah RS dan RSJ tengah mempersiapkan ruangan khusus untuk mengantisipasi calon legislatif (caleg) yang mengalami stress atau gangguan jiwa akibat gagal dalam pemilihan legislatif di Pemilu 2024.
RS Oto Iskandar Dinata, Soreang, Bandung, Jawa Barat, sedang menyiapkan 10 ruangan VIP untuk persiapan pemilu dan menyiapkan dokter spesialis jiwa untuk caleg yang mengalami gangguan kejiwaan, seperti gelisah, cemas, gemetar, dan susah tidur. RSUD dr. Abdoer Rahiem Situbondo Jawa Timur pun sama, tengah menyiapkan poli kejiwaan dan ruangan rawat inap jiwa, baik yang akut maupun kronis atau ringan. (Kompas TV, 24/11/2023).
Persiapan pelayanan kejiwaan bagi para caleg ini sebagai antisipasi berdasarkan pengalaman pemilu-pemilu sebelumnya. Fenomena stres hingga depresi membuktikan bahwa pemilu dalam sistem hari ini rawan mengakibatkan gangguan mental. Setidaknya ada dua hal yang mengakibatkan ini terjadi yakni faktor sistem demokrasi yang dijadikan sistem pemerintahan di negeri ini dan faktor individu yang kepribadiannya lemah.
Berkaitan dengan faktor pertama bahwa sistem demokrasi memiliki mekanisme pemilihan pemimpin yakni dengan pemilihan langsung oleh rakyat untuk memilih calon kepala negara dan anggota legislatif secara langsung . Pemilu dalam sistem demokrasi membutuhkan biaya tinggi sebab kontestasi pemilu harus melakukan kampanye yang tentu membutuhkan ongkos yang tidak sedikit sehingga mereka pasti mengerahkan segala macam cara untuk meraih kemenangan.
Menurut Lembaga Penelitian Mahasiswa Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, modal menjadi caleg cukup variatif, caleg DPR RI sebesar Rp1 miliar – Rp2 miliar, caleg DPRD Provinsi sekitar Rp500 juta – Rp1 miliar dan caleg DPRD Kab./ Kota sekitar Rp250 juta – Rp300 juta. Hal inilah yang menjadi pemicu stres bagi para caleg yang gagal dalam pemilu. Apalagi hari ini jabatan menjadi impian masyarakat karena dianggap menaikkan harga diri/ prestise juga jalan untuk mendapatkan keuntungan materi dan fasilitas lainnya.
Tentu sangat berbeda dengan Sistem Islam. Islam memandang bahwa kekuasaan dan jabatan adalah amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah Ta’ala. Oleh karenanya, siapa saja yang ingin mencalonkan dirinya memegang jabatan, ia harus benar-benar yakin dirinya akan bisa amanah dalam menjalankannya. Ini karena bagi pemimpin yang tidak amanah, balasannya adalah neraka.
“Barang siapa diberi beban oleh Allah untuk memimpin rakyatnya, lalu mati dalam keadaan menipu rakyat, niscaya Allah mengharamkan surga atasnya.” (HR Muslim).
Selain itu, jabatan negara harus dijalankan sesuai dengan ketentuan Allah SWT dan Rasul-Nya. Siapa pun yang ingin memegang amanah jabatan haruslah yang mengerti agama. Jika tidak, ia akan mencelakakan diri sendiri sekaligus mencelakakan umat seluruhnya.
Para kandidat dalam pemerintahan Islam adalah mereka yang taat kepada Allah SWT dan tujuan meraih jabatannya semata untuk mencari rida-Nya. Jika ia tidak terpilih, tidak akan berpengaruh terhadap mentalnya sebab ia yakin bahwa apa pun yang terjadi pada dirinya adalah yang terbaik baginya.
Pelaksanaan kontestasi dalam sistem politik Islam juga sederhana, tidak membutuhkan biaya tinggi hingga para kandidat harus menguras harta, apalagi harus berutang. Inilah yang menjadikan kekalahan tidak menjadi beban. Oleh karenanya, kembali pada sistem politik Islam adalah sesuatu yang urgen dilakukan agar kehidupan umat manusia bisa kembali mulia. Wallahu a’lam bishshawab. [LM/Ah]
Please follow and like us:

Tentang Penulis