Paradoks Pergantian Tahun dan Sikap Kaum Muslim
Oleh: Yuke Octavianty
Forum Literasi Muslimah Bogor
LenSa MediaNews__Hingar bingar pergantian tahun disambut begitu meriah. Tak terkecuali di negeri ini. Berbagai rencana disiapkan untuk mengisi liburan panjang akhir tahun. Namun, berbeda keadaannya di negeri lain. Perang di Palestina masih terus berkecamuk. Muslim Rohingya masih terus terancam. Lantas bagaimana semestinya kita bersikap?
Paradoks Menyambut Tahun Baru
Menemani detik-detik pergantian tahun, Jakarta menetapkan ada sembilan lokasi pesta kembang api (CNNIndonesia.com, 31-12-2023). Jalanan pun diprediksi akan mengalami macet parah. Lautan manusia diperkirakan akan berkumpul di titik-titik yang telah ditentukan. Keadaan serupa pun terjadi di kota lain. Sebut saja Yogyakarta. Pengunjung memadati kawasan Tugu Pal Putih hingga Malioboro, Kota Yogyakarta, (republika.co.id, 31-12-2023). Pergantian tahun selalu diperingati di kawasan tersebut. Tidak berbeda dengan peringatan pada tahun-tahun sebelumnya.
Resolusi pergantian tahun seolah hanya bayangan yang sulit diwujudkan. Malah yang terjadi adalah sisi gelap pergaulan bebas di tengah kebebasan hidup yang kian tidak terarah. Pesta, hura-hura, seks bebas makin mengancam kehidupan generasi. Inikah resolusi tahun baru?
Sementara di belahan bumi lain, peperangan belum juga mereda. Perang antara Israel dan Palestina terus memanas. Bahkan harapan di tahun baru pun rasanya hanya sekedar mimpi yang jauh dari angan-angan. Harapan mereka hanya bisa kembali hidup normal di tahun baru. Namun faktanya, keadaan makin mengancam masa depan. Sungguh fakta yang memilukan.
Tidak beda jauh dengan nasib muslim Palestina. Muslim Rohingya pun mengalami tekanan hidup luar biasa. Muslim minoritas yang selalu tertindas atas kekejaman rezim Myanmar. Pengusiran dari wilayah tinggalnya, membuat mereka terlunta-lunta di berbagai negara tetangga. Termasuk di Indonesia. Penolakan terus dialami para pengungsi. Kejadian yang juga menyedihkan saat terjadi pengusiran tak manusiawi yang dialami muslim Rohingya oleh mahasiswa setempat (bbcindonesia.com 29-12-2023). Disinformasi menjadikan para mahasiswa emosi. Bahkan sikapnya sangat keras terhadap perempuan dan anak-anak muslim Rohingya. Tak ayal, trauma dan ketakutan mendalam pun dirasakan para pengungsi. Aksi kekerasan dan intimidasi yang dilakukan para mahasiswa tersebut sangat disesalkan warga setempat.
Bukankah semestinya kita saling menjaga saudara seiman?
Namun nyatanya, ego setiap muslim disekat batas khayal antar negara. Persaudaraan sesama muslim hilang seketika saat natas negara berbicara. Inilah nasionalisme. Akibatnya yang begitu menyiksa. Tidak ada lagi rasa saling menjaga. Yang ada hanya ego yang mengendalikan rasa dan perilaku. Alhasil, semuanya menderita. Sikap tak manusiawi menjadi pilihan yang tidak bijak atas kejadian tersebut.
Padahal UNHCR telah menyerukan agar pihak berwenang mampu menjamin keselamatan seluruh pengungsi Rohingya, yang kini mencapai 1.680 orang di Aceh. Namun, rasanya solusi ini sama sekali tidak mampu berdampak nyata.
Semua ini sebagai bukti betapa abainya negara mempersatukan perasaan kaum muslimin. Konsep nasionalisme yang mengerat-ngerat ukhuwah kaum muslim, membuat kekuatan muslim semakin melemah dan tidak mampu bangkit membela diri.
Di sisi lain, seiring berjalannya waktu, seolah muslim tak lagi peduli dengan perjuangan muslim Gaza. Boikot produk-produk zionis kian melemah. Perang opini pun kian santer. Pembungkaman yang dilakukan Meta, selaku penggenggam informasi dunia, makin nampak. Opini yang membela Palestina dan Islam semakin dibungkam. Alhasil, ukhuwah Islam kian pupus dalam hati umat Islam.
Islam, Satu-Satunya Harapan
Kini, kaum muslim tengah tercerai-berai. Konsep nasionalisme telah memutilasi perasaan dalam diri umat. Paradoks kaum muslim dalam bersikap tampak nyata. Pesta kembang api yang penuh gemerlap dan suka cita di tengah penderitaan kaum muslim lainnya.
Umat Islam bagai satu tubuh. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW.
“Perumpamaan kaum mukminin dalam saling mencintai, saling mengasihi dan saling menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain ikut merasakan sakit juga dengan tidak bisa tidur dan merasa demam.” (HR Muslim)
Semestinya umat sadar bahwa umat Islam adalah satu tubuh. Pembelaan dan pertolongan pada kaum muslim yang tertindas harus tampak nyata. Nasionalisme mesti dihapuskan dari pola pemikiran umat. Karena inilah racun yang sesungguhnya. Dan hanya dengan menanamkan akidah Islam-lah, ukhuwah Islam mampu tumbuh dalam jiwa kaum muslim secara utuh.
Sistem Islamlah satu-satunya harapan yang mampu menyatukan kaum muslim di seluruh dunia. Sistem Islam dalam wadah Khilafah, satu-satunya institusi yang mampu menjadi solusi. Dan hanya khilafahlah yang mampu menghilangkan segala bentuk penjajahan dan penindasan. Tak ada pilihan lain.
Wallahu a’lam bishshawab.