Suka Telat, Bikin Hidup Bahagia?

Oleh: Maulinda Rawitra Pradanti, S.Pd.
Lensamedianews.com, Opini – Suka kesal gak sih nungguin orang yang suka telat? Atau malah menjadi orang yang ditungguin karena suka telat juga?
Dilansir dari health.detik.com (26/3/2019) menunjukkan bahwa media Southearn Living pernah menganalisis kaitan antara keterlambatan dengan menjalani kehidupan yang sukses dan lebih lama. Studi dari Fakultas Kedokteran Universitas Harvard juga mengkaji sekelompok besar orang dewasa dengan kecenderungan sering terlambat. Hasilnya, orang-orang tersebut memiliki tekanan darah lebih rendah dibandingkan dengan orang yang selalu tepat waktu (wowbabel.com, (3/10/2023).
Dengan hasil seperti itu, akhirnya lahir anggapan kalau orang yang suka telatan itu hidupnya lebih bahagia. Hidupnya santui aja, bersikap bodo amat gitu. Dia yakin dan optimis bahwa semuanya pasti bakalan selesai, sehingga tak perlu ambil pusing dan stres.
Ya, memang semua tugas pasti selesai, entah oleh dirinya atau oleh orang lain. Yang telat memang biasanya lebih bahagia dan masih bisa senyum, yang nungguin si telatan ini keburu beruban dan tua. Makanya di era modern ini banyak banget orang ansos, suka negative thinking, suka ganti tujuan, dan pastinya suka berspekulasi sendiri demi menjaga kewarasan katanya.
Orang model seperti ini salah satu contoh orang egois yang mementingkan dirinya sendiri tanpa melihat orang lain yang nungguin dia. Mindset kapitalisme sekularisme sudah memengaruhinya karena mereka memandang bahwa tujuan hidup ini untuk mencari kebahagiaan. Orang lain yang ingin membutuhkan jasanya dianggap harus mau bersabar sampai dia siap mengerjakan tugas atau sedang mood bekerja. Jika sudah merasa siap dan mood-nya telah datang, mereka akan melakukan aktivitas semuanya asalkan dia merasa senang dan tenang dulu walaupun telat. Kalau dibiarkan terus menerus, hal itu dapat merugikan dirinya sendiri bahkan banyak orang.
Oleh karena itu, bagi seorang muslim tidak boleh mengikuti mindset tersebut. Muslim punya aturan sendiri yaitu mindset Islam. Seorang muslim akan memandang bahwa tujuan hidup di dunia ini untuk beribadah kepada Allah dan setiap amal yang dia lakukan di dunia akan dimintai pertanggungjawaban. Jadi mereka akan mengaitkan aktivitas dengan syariat, bukan semaunya sendiri.
Keterlambatan adalah suatu kesalahan dan bisa mendatangkan dosa bagi seorang muslim. Allah berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 34, “dan penuhilah janji, sesungguhnya janji itu pasti dimintai pertanggungjawaban”.
Kalau sudah diseru langsung oleh Allah, maka seorang muslim akan berusaha untuk menghindari keterlambatan dalam kesehariannya, baik keterlambatan yang berdampak pada dirinya atau merugikan orang lain. Karena kalau sudah terlambat, artinya ada aqad yang tidak ditepati dan ada orang yang dizalimi. Maka jika sudah terjadi keterlambatan itu, seorang muslim harus segera bertaubat, meminta maaf pada orang yang bersangkutan, dan mencari cara supaya ke depannya tidak terlambat lagi.
Oleh karena itu, perlu menciptakan lingkungan masyarakat yang islami, yang paham tentang aturan Islam, sekalipun ada nonmuslim di sana. Sikap “telatan” tidak akan jadi budaya lagi dan kita akan merasa panik kalau terlambat karena masyarakatnya sudah saling memegang aqad dan amanah. Selain itu, masyarakat akan saling amar makruf nahi mungkar, mengingatkan kalau ada hak orang lain di janji itu dan kewajiban kita adalah menunaikannya.
Nah, supaya pola pikir dan pola sikap kita sesuai dengan Islam, maka perlu sistem pendidikan berbasis akidah Islam yang tujuannya adalah mencetak generasi berkepribadian Islam sehingga sejak kecil dan di sekolah-sekolah akan diajarkan tujuan hidup yang benar. Memahami hakikat hidup sebagai manusia, saling menghargai sesama, pun dengan menghargai waktu, bukan hanya sekadar supaya dibilang orang yang on time, tetapi karena Allah telah memerintahkan untuk memenuhi janji.
Hingga akhirnya, seorang muslim bisa berpikir bahwa bahagia itu ketika bisa menjalankan setiap perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, mampu mengaitkan setiap amalnya dengan syariat Islam sehingga bernilai ibadah. Jadi, studi-studi seperti di awal tadi adalah batil karena sikap optimisnya tidak berlandaskan asas yang benar. Wallahu a’lam bishshawab. [LM/Ah]
Please follow and like us:

Tentang Penulis