Food Estate, Benarkah Semua Demi Lumbung Pangan?

Oleh : Ummu Zhafran

(Pegiat Literasi)

 

Lensa Media News – Food Estate ternyata bukan hal baru. Sejak 2009 sudah mulai dirintis di wilayah paling timur negeri ini. Tepatnya Kabupaten Merauke dengan program MIFE (Merauke Integrated Food and Energy Estate). Seperti diketahui Merauke memiliki lahan pertanian mencapai 2,49 juta hektar (ha). (detiknews.com, 2009).

Ada pun tujuannya digadang-gadang guna mewujudkan ketahanan pangan dengan mengembangkan pertanian, perkebunan, bahkan peternakan secara terintegrasi. Maklum bila untuk keperluan itu, dibutuhkan lahan yang sangat luas. Seiring waktu, wilayah lain yang memenuhi syarat tak ketinggalan ikut disasar.

Layaknya kebijakan publik yang lain, pro dan kontra tentu bermunculan. Bagi yang pro menyebut, hadirnya food estate antara lain dapat dengan cepat membuka lahan, meningkatkan produksi tanaman pangan, menarik minat investor lokal maupun asing, dan pada gilirannya menyumbang pada kenaikan pendapatan petani khususnya dan negara pada umumnya.

Tetapi bagi yang kontra tentu tak termakan janji tersebut. Bagi mereka yang tak sependapat, alih-alih menyediakan lahan untuk ditanami pangan secara masif, yang terjadi justru alih fungsi lahan seluas 100 ribu hektare per tahun. Parahnya lagi, lahan yang digunakan untuk food estate berpotensi tak lagi bisa dimiliki kembali dan dikelola oleh para petani lokal. Sebab kenyataannya telah terbit Peraturan Presiden No 77/2007 tentang daftar bidang usaha tertutup dan terbuka. Di dalamnya tercantum bahwa asing boleh memiliki modal maksimal 95 persen dalam budi daya padi.

Tak cukup itu, saat mengelola food estate ini butuh pemodal, maka sama artinya membuka celah ketergantungan pada investor alias oligarki lokal maupun asing. Apalagi sudah ada payung hukum yang memberi kemudahan dan keuntungan bagi para pemilik modal. Terbukti sejak awal terdapat enam swasta nasional yang menanamkan modalnya di MIFE. Antara lain Bangun Tjipta, Medco Grup, Comexindo Internasional, Digul Agro Lestari, Buana Agro Tama, dan Wolo Agro Makmur. (detiknews.com, 2009)

Risikonya, lambat laun karakter pertanian dan pangan Indonesia makin bergeser dari peasant and family based agriculture menjadi corporate based food and agriculture production. Kondisi ini justru akan melemahkan kedaulatan pangan Indonesia. Karena, jika negara tak cermat dalam mengontrol dan mengendalikan distribusi maka oligarki korporasi bakal mengambil alih peran sebagai penentu harga pasar dengan profit sebagai orientasi satu-satunya. Pada gilirannya rakyat petani hanya bisa mengelus dada. Setelah tak lagi memiliki lahan, ruang hidup jadi terbatas, masih juga harus membayar mahal produk yang dihasilkan.

Begitulah, di mana ada oligarki sudah pasti di sana berlaku ideologi kapitalisme. Bukankah sudah menjadi tabiat ideologi buatan manusia ini selalu mengutamakan materi, dalam hal ini harta dan laba di atas segalanya. Maka sifat rakus tak luput pula jadi sifat dasar dari kapitalisme. Film Wall Street yang fenomenal di zamannya menggambarkan keserakahan kapitalisme lewat perkataan Gekko, sang tokoh utama yang diperankan aktor gaek Michael Douglas. “Rakus itu benar. Rakus itu membawa hasil.” (wikipedia)

Sekarang bandingkan dengan ideologi yang asalnya dari Sang Maha Pencipta, Allah Swt. Melalui Rasulullah saw., Islam diturunkan kepada seluruh manusia sebagai rahmat, asalkan diambil dan diterapkan secara kafah.

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.”(QS. Al-Anbiya: 107)

Melalui ayat ini Allah Swt. memberitahukan bahwa Nabi Muhammad saw. diutus sebagai rahmat, maka barang siapa yang menerima dan mensyukuri, berbahagialah dunia dan akhiratnya. Sebaliknya yang mengingkari Baginda Nabi, maka merugi pula dunia akhirat. (Tafsir Ibnu Katsir)

Terkait soal lahan dan ketahanan pangan, Islam menetapkan sejumlah rambu antara lain guna meminimalkan terjadinya konflik agraria hingga dapat meningkatkan produksi pangan. Islam memberi mandat pada Khalifah dalam bingkai sistem pemerintahan warisan Rasul saw. untuk melarang menyewakan lahan pertanian. Artinya setiap pemilik tanah harus mengelola lahannya. Berikut, setiap warga negara boleh menghidupkan lahan tidur (tidak digarap bertahu-tahun). Ketika seseorang melakukan hal tersebut maka tanah itu menjadi miliknya. Lalu setiap yang menelantarkan tanahnya selama tiga tahun berturut-turut maka negara akan mengambil lahan tersebut dan akan diberikan kepada siapa saja yang mau dan mampu mengolahnya menjadi produktif termasuk membagikan sarana dan alat-alat pertanian.

Jika demikian bisa terbayang betapa pemilik tanah dan warga yang dibagikan tanah akan berlomba-lomba menggarap lahannya dengan fasilitas negara. Ruang hidup rakyat terjamin, ketahanan pangan pun terwujud.

Wallaahua’lam.

 

[LM/nr]

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis