Lensa Media News–Sederet konflik agraria yang makin membara membuat hubungan pemerintah dengan rakyat makin memanas. Berbagai konflik agraria, seperti konflik Wadas dan pembangunan sirkuit Mandalika, membuat rakyat menjadi pihak yang mendapat perlakuan sewenang-wenang. Buktinya, lahan yang telah ditinggali rakyat secara turun temurun harus diambil paksa demi proyek strategi nasional.

 

Menurut Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, konflik agraria di Indonesia sulit dihentikan karena banyak peraturan yang justru memperburuk keadaan. Beberapa aturan tersebut antara lain Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) dan Undang-Undang Ibu Kota Negara (UU IKN) (CNNIndonesia.com, 2023).

 

Tak heran jika berbagai konflik agraria tidak terselesaikan dengan tuntas. Sebab saat ini, negara hanya berperan sebagai fasilitator bagi para oligarki. Para ‘elite borjuis’ itu berkuasa di balik proyek-proyek nasional dan menghancurkan hak dan tanah rakyat. Mereka bekerja sama dengan para investor untuk mendanai proyek-proyek strategis.

 

Berbeda dengan Islam, negara akan mengambil tanah rakyat untuk kemaslahatan umum atas rida pemilik tanah. Pemilik tanah akan mendapat ganti untung sehingga pemilik tanah takkan mengalami kesusahan. Namun, jika pemilik tidak rida, negara tidak memiliki hak untuk menggusur apalagi mengambil paksa lahan tersebut. Atikah Hana Hanifah, Mahasiswi Yogyakarta. [LM/IF/ry]

Please follow and like us:

Tentang Penulis