Proyek IKN, Potensi Gelandangan Masa Depan

Oleh: Ummu Zhafran, pegiat literasi

 

Lensa Media News-Oktober lalu, laman berita internasional BBC menurunkan reportasenya tentang Ibu Kota Nusantara. Pada tajuknya tertulis, hak atas tanah di IKN berpotensi menyulap masyarakat adat menjadi gelandangan di masa depan.

 

Disebutkan pula bahwa revisi UU Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara oleh DPR telah disahkan. Artinya, aturan tentang pemberian hak atas tanah lebih dari 100 tahun kepada investor telah resmi ketuk palu (bbc.com, 5/10/2023).

 

Ironis, tak banyak di antara kita yang berdiam di wilayah yang jauh dari IKN menyadari akibat dari hal di atas. Bahwa di balik pengesahan UU tersebut bakal ada masyarakat adat terusir dari kampung halamannya.

 

Pun ada berapa hektar tanah yang selama ini jadi sumber penghidupan mereka dengan bertani, berkebun maupun melaut akan sirna. Intinya ruang hidup di mana mereka tinggal, bermain, bekerja, bersekolah, serta bercengkerama sebagai sesama warga seketika ambyar tergantikan dengan IKN.

 

Jadi bila di antara masyarakat adat kemudian timbul kecemasan yang berujung penolakan, wajar adanya.  Siapa yang tak kawatir memandang masa depan bila ruang hidup sekonyong-konyong direnggut? Memang benar, beredar kabar bahwa akan diberi ganti rugi namun hanya sebesar 10 persen dari pasaran tanah yang berlaku saat ini atau sekitar 150 juta.

 

Lalu bagaimana bisa digunakan untuk membeli lahan yang baru di tempat lain? Kalaupun lahan terbeli, masih cukupkah dana yang tersisa untuk membangun rumah? Bagaimana dengan biaya sekolah dan mata pencaharian sehari-hari kelak?

 

Sungguh semua kekawatiran di atas sangat beralasan. Setidaknya hal tersebut diakui Kepala Advokasi Kebijakan Konsorsium Pembaruan Agraria di laman berita yang sama. Menurutnya, UU IKN melegalkan monopoli tanah oleh pengusaha. Bagaimana tidak, hak guna usaha diberikan kepada investor selama 190 tahun dan hak guna bangunan 160 tahun. Total nyaris 2 abad.

 

Hal ini sama saja menghilangkan hak penduduk asli untuk memiliki dan mengakses tanahnya kembali. Padahal UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria secara jelas meminta pemerintah mencegah praktik monopoli swasta atau dalam hal ini oligarki.

 

Terdapat satu hal menonjol di antara lainnya dalam perkara ini yang layak di-highlight dari perspektif Islam. Apa lagi kalau bukan keharaman mengambil apa yang menjadi hak milik pribadi atau individu. Ya, pasalnya berbeda dengan ideologi kapitalisme yang mengagungkan kebebasan kepemilikan, Islam justru memiliki pengaturan jelas dan tegas tentang kepemilikan.

 

Islam membagi kepemilikan menjadi tiga, yaitu individu, umum (kolektif), dan negara. Islam sangat menghargai dan melindungi kepemilikan individu, bahkan terdapat ancaman yang tegas bagi siapa saja yang mengambil tanah individu tanpa hak. “Barang siapa mengambil sejengkal tanah secara zalim, maka Allah akan mengimpitnya dengan tujuh lapis tanah (bumi).” (HR Muslim).

 

Betapa keras ancaman bagi siapa saja yang berlaku zalim, mengusir kepala-kepala keluarga beserta anak dan istri yang sudah jauh lebih dahulu berada di lahan tersebut.

 

Ketimbang merampas ruang hidup penduduk yang notabene warga negara, demi investasi sang oligarki, mengapa tak mengadopsi ketentuan syariat terkait hal ini? Antara lain, tak diperkenankan memberi kesempatan investasi dari luar sebagai jalan menuju penjajahan atas kedaulatan negara. Sebab di balik bantuan dan utang berisiko pada haramnya riba dan menghambat kemandirian.

 

Berikutnya, Islam tegas melarang pembiayaan pembangunan dengan modal dari luar negeri atau swasta diberlakukan pada sektor vital menyangkut hajat hidup orang banyak. Seperti pengelolaan sumber daya alam gas, minyak bumi, listrik dan lain-lain.

 

Lebih dari itu, negara dalam Islam diberi amanah untuk memastikan kebutuhan pokok setiap individu rakyat terpenuhi,  bukan rata-rata saja apalagi asumsi sebagaimana dalam kapitalisme. Jaminan penguasa dalam mengurusi rakyatnya inilah yang menjadi indikator kesejahteraan dalam Islam. Tak ada kaitannya dengan ada tidaknya investasi, atau proyek-proyek mercusuar yang ambisius namun minus kepedulian akan rakyat kecil.

 

Sebagai penutup, mari simak kisah Khalifah Umar bin Khattab ra. saat rakyatnya menghadapi paceklik di Madinah. Setiap malam beliau salat lail setelah isya hingga menjelang subuh. Beliau juga bersumpah tidak makan daging atau minyak samin sampai semua rakyatnya muslim maupun non muslim dapat hidup baik.

 

Saat perutnya berbunyi karena lapar yang mendera beliau berkata, “Berbunyilah, engkau tidak akan mendapatkan minyak samin hingga semua orang bisa hidup tercukupi.” Masya Allah, tidakkah kita merindukan sosok-sosok pemimpin dalam naungan syariah kafah sebagaimana Amirul Mukminin Umar bin Khattab ra.? Wallahua’lam. [LM/ry].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Please follow and like us:

Tentang Penulis