Membela HAM, Membela Pepesan Kosong?
Oleh: Ummu Zhafran
pegiat literasi
Lensa Media News–Konon, Hak Asasi Manusia (HAM) diartikan sebagai hak mendasar yang melekat dan dimiliki oleh setiap manusia sejak lahir, sebagai anugerah dari Tuhan Yang Maha Esa. Kalimat terakhir patut digarisbawahi. Artinya HAM mutlak bersifat universal, sudah seharusnya berlaku bagi semua manusia, dengan tanpa memandang ras, suku, etnik, agama dan kedudukan seorang di dalam masyarakat. Ketika diadopsi serta disahkan oleh Majelis Umum PBB pada 1948, di atas kertas tercantum tujuannya adalah untuk melindungi setiap individu di seluruh negara atas hak asasi manusianya. Demikian teorinya.
Tetapi benarkah berlaku secara realitasnya? Tak segampang itu. Pada praktiknya, penjagaan atas HAM ini sangat perlu dipertanyakan. Ambil contoh genosida yang terjadi di Palestina misalnya, ke mana para pejuang HAM bersembunyi? Mengapa negara-negara yang selama ini selalu menggembar-gemborkan pembelaan atas hak asasi yang dimiliki setiap manusia seolah bungkam seribu bahasa?
Padahal seluruh dunia menyaksikan petaka di Palestina begitu mengerikan hingga tak tersisa lagi hak asasi yang tak dilanggar oleh Zionis Yahudi. Namun tak kunjung terdengar suara dari pihak yang getol menyuarakan HAM. Bahkan lembaga dunia yang mendeklarasikannya pun tak kuasa menghentikan genosida di Palestina melalui sidang umumnya yang digelar beberapa waktu lalu. Lembaga yang sama di majelis yang sama pula. Miris.
Lepas dari veto yang dilakukan negeri Paman Sam, patut diduga ini ada kaitannya juga dengan status warga Palestina yang stateless alias tidak memiliki kewarganegaraan. Sebab mengutip dari wikipedia, orang yang tak bernegara secara de jure merupakan orang yang “tidak dianggap” manusia di mana pun di seluruh dunia. Jika benar, sungguh tak berperikemanusiaan!
Benarlah yang dikatakan mubalig nasional, Ustaz Ismail Yusanto di kanal Youtube UIY Official. Bahwa HAM itu sejatinya absurd. Tak ada standar jelas untuk menilai berbagai bentuk pelanggaran. Menetapkan seseorang dengan status stateless sejatinya juga perbuatan melanggar HAM bila ditinjau dari sudut pandang warga Palestina. Begitu pula mereka yang mendukung perbuatan LGBT bukankah bisa dikatakan telah mengangkangi hak asasi orang yang menolak LGBT?
Begitulah HAM, nyatanya tak lebih ide semu atau bagaikan pepesan kosong. Sama sekali tak bisa berlaku universal, sebaliknya malah sangat subyektif tergantung siapa yang menilai dan memanfaatkan. Untuk hal yang sifatnya elastis bak karet ini jelas HAM tak berdaya bila digunakan sebagai solusi atas setiap permasalahan anak-anak bangsa di seluruh dunia.
Sudah tentu yang dibutuhkan dunia adalah solusi yang sifatnya ajek, tidak berubah-ubah. Kembali mengutip UIY, selama tidak ada ketentuan yang tetap maka selama itu pula manusia hidup dalam kekacauan. Maka mutlak butuh aturan yang tidak berasal dari manusia. Karena jika diserahkan pada manusia, segala sesuatu jadi tergantung isi kepala masing-masing.
Terpenting, dari penjelasan UIY kita bisa memahami mengapa kata HAM tak punya tempat dalam kamus seorang muslim. Karena begitu memeluk Islam, seseorang menjadi terikat dengan ketentuan dari Allah Swt. Maha Pencipta alam semesta berikut isinya. Jauh sebelum manusia ribut-ribut soal HAM, Allah Swt. yang Maha Rahman dan Rahim telah menganugerahkan nikmat hidup, nikmat akal dan seluruh indra pada manusia berikut syariat yang mengatur penjagaan atas jiwa, akal, agama, harta, dan keturunan.
Akhirul kalam, mempropagandakan HAM di hadapan Islam yang dianut pemeluk yang meyakininya, sama halnya dengan menggarami air laut. Sungguh perbuatan yang sia-sia. Bagaimana mungkin mengajarkan HAM pada Sang Maha Pencipta dan Pemilik Kehidupan? Mari renungkan bersama. Wallaahua’lam.[LM/ry].